Dalam artikel ketujuh seri Paulus ini, kita telah sampai pada akhir perjalanan misi kedua Paulus, yaitu di kota Korintus (Kis. 18). Korintus merupakan sebuah kota kuno di Yunani, yang pada zaman itu merupakan kota metropolitan. Penduduknya campuran orang-orang Romawi, Yunani, dan juga sejumlah orang Yahudi. Dengan status metropolitan, Korintus dihuni orang-orang yang modern dan berpengetahuan. Alhasil, kota itu angkuh secara intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral. Pada zaman itu, segala macam dosa merajalela di kota Korintus.
Gigih Menjadi Tukang Kemah sambil Menginjil
Di Korintus, Paulus bertemu dengan Akwila, yang berkebangsaan Yahudi, serta istrinya, Priskila. Pasutri ini baru tiba dari Italia, karena mengungsi setelah Kaisar Klaudius yang memerintah di Italia pada saat itu membuat ultimatum bahwa semua orang Yahudi harus meninggalkan kota Roma akibat kerusuhan yang terjadi dengan warga Yahudi di Roma. Akwila dan Priskila mengungsi ke Korintus lalu menetap di sana. Ketika Paulus singgah di Korintus, dia tinggal di rumah Akwila dan Priskila, sekaligus mengerjakan pekerjaan yang sama yaitu sebagai tukang kemah.
Pekerjaan sebagai tukang kemah berat dan melibatkan kerja kasar, tetapi Paulus tetap tekun mengerjakan pekerjaan ini dengan tangannya sendiri demi menunjang kehidupannya sehari-hari sebelum Timotius dan Silas datang. Paulus tidak asal menumpang dan membiarkan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh Akwila dan Priskila. Bahkan, melalui pekerjaannya ini Allah memakai Paulus untuk memuridkan Akwila dan Priskila. Di saat tangan Paulus begitu terampil mengerjakan kemah bersama-sama dengan Akwila dan Priskila, mulut Paulus aktif menceritakan injil Kristus kepada mereka setiap hari. Hasilnya, Akwila dan Priskila menjadi murid yang menghasilkan banyak buah. Hal ini menunjukkan karakter rajin dan dedikatif yang luar biasa pada diri Paulus. Apalagi, di samping pekerjaan membuat kemah itu, Paulus pun tetap gigih memberitakan Kerajaan Allah.
Tekun Memberitakan Firman, Setia Mengikut Arahan Roh Kudus
Korintus terkenal dengan orang-orang yang berhikmat dan berpengetahuan unggul. Tanpa sadar, hikmat dunia ini menghalangi warga Korintus untuk rendah hati, sehingga mereka sulit mengenal Allah yang benar. Karena kondisi itu, Paulus mengarahkan gaya penginjilannya kepada inti dari injil, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu,” (1 Kor. 2:1). Paulus memusatkan isi khotbahnya pada kebenaran inti dalam pesan injil, yaitu penebusan melalui Kristus dan kuasa Roh Kudus.
Di sisi lain, Paulus pun sadar akan keterbatasan manusiawinya, ketidakcakapan pribadinya, dan ketakutan serta rasa gentar dalam hatinya, maka dia bersandar sepenuhnya pada kekuatan Roh. “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah,” (1 Kor. 2:2-5).
Sesuai imannya, Paulus mendapat kekuatan dari Roh Kudus untuk dia tidak gentar, “Jangan takut! Teruslah memberitakan Firman dan jangan diam! Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau, sebab banyak umat-Ku di kota ini,” (Kis. 18:9-10). Oleh kekuatan dari Roh Kudus, ketika orang-orang Yahudi menghujat, Paulus mengebaskan debu dari pakaiannya dan berkata, “Biarlah darahmu tertumpah ke atas kepalamu sendiri; aku bersih, tidak bersalah. Mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain,” (Kis. 18:6). Paulus tidak memaksakan misi itu dengan kekuatannya sendiri sebagai manusia atau pengalamannya dari pelayanan yang sebelumnya, tetapi berani taat pada arahan Tuhan.
Apa yang Ditabur, Itu yang Dituai
Banyak hal menghalangi Paulus memberitakan Firman, tetapi benih-benih Firman yang ditaburkannya dengan tekun membuahkan hasil. Salah satu buah itu adalah Krispus, seorang kepala rumah ibadat, yang menjadi percaya kepada Tuhan beserta seisi rumahnya. Ketekunan dan ketaatan Paulus untuk memberitakan injil Kerajaan Allah menghasilkan benih-benih yang mulai tumbuh. Tidak sedikit orang di Korintus yang menjadi percaya. Inilah janji Tuhan kepada Paulus, “… sebab banyak umat-Ku di kota ini,” (Kis. 18:10). Itu sebabnya, Paulus tinggal di Korintus selama 18 bulan untuk membawa orang-orang Korintus berbalik kepada Tuhan.
Dari Korintus, Paulus berlayar ke Siria untuk perjalanan berikutnya, kali ini bersama Priskila dan Akwila. Dalam perjalanan itu, Paulus meninggalkan mereka di Efesus setelah dia memberitakan Firman dan berbicara dengan orang-orang Yahudi di Efesus. Priskila dan Akwila diberi kepercayaan untuk melayani orang-orang di Efesus, setelah sebelumnya dimuridkan oleh Paulus selama di Korintus. Setelah memberi salam pada jemaat, Paulus berangkat meneruskan perjalanan ke Antiokhia. Dia menjelajahi seluruh tanah Galatia dan Frigia untuk meneguhkan hati murid-murid Kristus di wilayah-wilayah itu.
Misi Paulus dalam perjalanan keduanya ini sangat tidak mudah. Sampai akhir perjalanan, penolakan demi penolakan dari orang-orang Yahudi membuat dia sempat gentar. Namun syukurlah, janji Tuhan kepada Paulus bahwa Dia menyertainya menjadi pemacu iman Paulus untuk mengandalkan kekuatan Roh Kudus, sehingga dia dapat melalui segala rintangan. Melalui perjalanan misi Paulus yang kedua ini, kita melihat betapa ketaatan dan ketekunan Paulus telah dipakai Tuhan untuk menghasilkan buah-buah bagi Kerajaan Allah. Demikian pula dengan kita, jangan tergoda untuk mudah menyerah, karena Tuhan menyertai setiap orang yang mengandalkan Allah. Teruslah setia belajar dari teladan Paulus dan melakukannya di setiap langkah kita. Dalam edisi eBuild! Berikutnya kita akan mengikuti perjalanan misi Paulus yang ketiga.