Hachiko menantikan tuannya, setiap hari tanpa terlambat, selama 10 tahun, sampai akhirnya ia tak kuat meregang nyawa karena usia yang makin uzur dan kondisi cuaca bersalju yang membuuk. Tepat di lokasi Hachiko selalu menunggu tuannya inilah, saat ini berdiri tegak patung seukuran dengan si Hachiko asli, yang dirancang and dipahat khusus untuk mengenang dan menghormati kesetiaan Hachiko.
Saya menonton film “Hachiko” sambil mengingat salah satu anjing peliharaan saya yang sekian tahun lalu juga meninggal karena usia uzur: Uwit. Uwit datang ke rumah keluarga saya saat berusia masih sangat muda juga, kurang dari 2 bulan, dengan badan “cebol” dan bulunya yang cenderung “gondrong”. Keberadaannya segera mewarnai kehidupan kami. Salah satu tugas rutin saya di rumah saat itu adalah memandikan si Uwit setiap minggu. Saya ingat, saya bahkan membuat sistem “menabung shampo” untuk si Uwit, dengan cara memastikan setiap anggota keluarga menyisihkan sebagian kecil shampo-nya setiap kali berkeramas, dan menempatkannya dalam botol kecil khusus yang sudah saya letakkan di pojok kamar mandi. Shampo hasil “tabungan bersama” ini di akhir minggu saya gunakan untuk memandikan si Uwit. Uwit selalu senang dimandikan, ia bahkan menyodorkan bagian-bagian tubuhnya untuk secara khusus saya gosok dan saya bersihkan, lalu saya keringkan.
Sejak pertama mengenalnya, saya selalu merasa “attached” dengan si Uwit. Tingkahnya sebagai “anak kecil” yang lugu dan polos saat mengejar lemparan butiran-butiran dogfood atau saat tercebur ke dalam kolam ikan atau saat dicakar kucing dewasa yang galak, kelakuannya saat “ABG” dan mulai “kasmaran” namun tetap “jual mahal” saat berhadapan dengan anjing-anjing lawan jenis yang “naksir”, sifat dan kebiasaan-kebiasaannya yang tenang dan pembersih saat dewasa, sampai ia mulai menua dan akhirnya kondisi kesehatannya memburuk, semuanya “menyentuh” hati saya dengan cara yang unik. Namun dari semuanya itu, saat-saat yang paling menyentuh adalah saat-saat Uwit sudah renta dan pikun, dengan tubuhnya yang bergerak sangat lambat, jam tidurnya yang makin bertambah panjang, bulu-bulunya yang rontok dan habis, luka-luka yang mulai muncul di kulitnya, serta matanya yang makin rabun dan akhirnya buta. Bahkan dalam kondisinya yang sudah “tanpa harapan” ini, Uwit masih berespon sangat baik terhadap panggilan saya: ia akan berjalan terseok-seok demi mendatangi asal suara saya, walau ia tidak mampu lagi melihat dengan persis di mana saya berada. Saat ia berhasil menemukan saya, Uwit akan duduk diam dan tenang menempelkan tubuhnya di sebelah kaki saya, kadang sambil mendongakkan kepalanya pelan ke arah saya, seakan menantikan suara atau tindakan saya selanjutnya kepadanya. Saat itu, saya sudah menjadi makin sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan maupun pelayanan di gereja, saya pun kadang tidak punya waktu ataupun minat untuk menemani dia, dan bahkan sejujurnya, dengan kondisi tubuhnya yang memburuk saya juga seringkali kehilangan “selera” untuk memandikan dia lagi. Tapi kesetiaan Uwit membuat hati saya trenyuh. Saya seringkali tidak ada bagi dia, tidak dapat dia andalkan, tidak memberikan dia rasa aman ataupun menjadi sahabat yang baik lagi bagi dia, tapi kasih, kepercayaan dan kesetiaannya kepada saya tidak berubah sedikit pun. Sampai akhirnya karena kondisi tubuh yang tidak dapat lagi dipertahankan, atas rekomendasi seorang dokter hewan, Uwit menjalani prosedur euthanasia (disuntik mati). Mama saya mengantarkan Uwit ke ruang kerja dokter itu dan mengucapkan salam perpisahan kami kepadanya, lalu mendampingi dia di saat-saat terakhirnya. Sejenak setelah disuntik, nafas Uwit berhenti dan ia meninggalkan kami dengan tenang. Sebuah kesetiaan yang tidak berakhir oleh situasi, sebuah kesetiaan oleh karena kasih.
Mengenang kesetiaan Uwit kepada saya ini, selain membuat saya sedih, juga membuat saya malu. Seekor anjing bisa sedemikian setia sampai mati kepada seorang tuan yang penuh kekurangan, tapi saya yang telah ditebus dengan cucuran darah yang mahal malah seringkali tidak setia kepada Sang Tuan yang telah mengorbankan diriNya itu. Seberapa sering saya mendengar suaraNya tanpa meresponi perkataanNya itu? Seberapa sering saya tidak mau berlelah-lelah mendatangi Dia dengan dalih kondisi fisik atau hati saya sedang tidak baik-baik saja? Seberapa sering saya mempersalahkan Dia atas ketidaknyamanan, hal-hal tidak enak, atau “luka-luka” yang saya alami? Hanya Tuan saya yang paling tahu, sesering apa saya kehilangan kesetiaan kepadaNya. Bukan hanya di saat-saat buruk, tapi juga di saat-saat yang baik pun saya seringkali mudah untuk berubah setia…
Kesetiaan lahir karena kepercayaan bahwa Sang Tuan pasti memperlakukan diri kita dengan baik, memberikan yang terbaik bagi kita. Kepercayaan ini lahir karena kita mengasihi Dia. Dan kasih ini lahir karena rasa syukur kita saat pertama kali Ia mengambil kita menjadi milikNya, karena kita tahu, sebenarnya kita tidak pernah cukup layak untuk bersanding denganNya namun Ia tetap memutuskan untuk mengasihi dan memilih kita. Jadi lain kali kita merasa bahwa kesetiaan kita mulai berubah kepadaNya, lain kali kita melihat bahwa gairah kita untuk menghabiskan waktu denganNya mulai makin menurun, lain kali kita banyak berdalih dan mempersalahkan Dia, itulah saat yang tepat untuk menyukuri kembali pengalaman pertama kita bertemu denganNya, untuk berterima kasih kembali karena Ia memilih kita menjadi milik berharga yang dikasihiNya. (my)