Menghadapi konsekuensi dari kesalahan yang telah kita lakukan tidaklah mudah. Kita akan mendapat kritik, penolakan bahkan label akibat kesalahan itu. Seorang teman saya sendiri semasa SMA suka bergadang untuk bermain online games. Tubuhnya kurus dan wajahnya tidak pernah terlihat segar, bahunya membusur ke depan dan punggungnya bungkuk akibat terlalu lama duduk di depan komputer setiap malam. Beberapa kali dia dipanggil ke ruang Kepala Sekolah karena kedapatan tidur di dalam kelas. Kami saat itu memanggilnya dengan sebutan si Molor. Walau sepuluh tahun setelah lulus, dia sudah berbadan tegap dan menjadi anggota kepolisian, tak lagi kecanduan online games, sapaan si Molor masih melekat padanya. Terkadang, kami bahkan sampai lupa siapa nama aslinya; yang kita ingat hanyalah kebiasaannya yang suka molor (tidur) di kelas.
Di Alkitab pun demikian; ada tokoh-tokoh yang dikenang karena kesalahannya, salah satunya ialah Yudas. Kita mungkin tak akan pernah tahu apa yang ada di benak Yudas saat dia mengkhianati Yesus. Alkitab tidak menjelaskan secara eksplisit motivasi Yudas untuk mengambil peran antagonis dalam penyaliban Kristus. Memang, Yudas bukan murid yang suka mengungkapkan pemikirannya. Sepanjang menemani Yesus melayani, dia adalah satu dari dua belas murid, yang tidak dominan, jarang berbicara, dan perkataannya jarang dikutip oleh keempat penulis Injil. Ketika masuk dalam sebuah peristiwa, Yudas malah ditulis sebagai “seorang pencuri” (Yoh. 12:6), waktu dia mengomentari narwastu murni mahal yang dipakai Maria “hanya” untuk meminyaki kaki Yesus.
Yudas jelas bukanlah seorang tokoh favorit di dalam Alkitab. Sampai saat ini, namanya masih menjadi simbol pengkhianatan oleh orang terdekat. Padahal, asal kata nama Yudas diambil dari bahasa Ibrani, Yehuda, yang artinya “terpujilah Allah”. Namun, kita tidak mengingat arti nama Yudas Iskariot; yang kita kenang justru pengkhianatannya terhadap Yesus.
Yudas tidaklah sendiri. Banyak tokoh di Alkitab tertulis abadi dengan kesalahan/dosa mereka di dalam Alkitab. Bahkan orang yang berkenan di hati Tuhan, Daud, dicatat berzinah dengan Bastyeba dan sengaja membiarkan suami Batsyeba mati di medan perang demi merampas Batsyeba menjadi miliknya. Nuh, pria yang taat dengan perintah Tuhan untuk membangun bahtera, ditemukan oleh anaknya dalam keadaan mabuk berat. Yunus, misionaris yang dipilih Tuhan untuk menyelamatkan Niniwe, memilih melarikan diri. Julukan yang kita dapat, si molor, si lelet, si anak mami, atau apa pun, mungkin hanya diketahui oleh lingkaran kecil pergaulan kita, tetapi kesalahan para tokoh Alkitab tersebut dibaca dan diceritakan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun!
Kenyataannya, Tuhan memang suka memakai orang-orang yang bercacat cela. Yudas pun seharusnya bisa dipakai Tuhan untuk hal yang dapat dikenang sebagai mulia. Seperti Tuhan memakai Musa si pembunuh, Yakub si pembohong, atau Paulus sang pembantai. Kesalahan mereka tidak membuat mereka kehilangan peran dalam rencana Tuhan, karena sesungguhnya cerita itu bukanlah tentang diri mereka, melainkan tentang Tuhan.
Meski selama ini kita terbiasa dengan kisah-kisah sebagaimana tertulis dan diceritakan dari Alkitab, mari berandai-andai sejenak sambil tetap membayangkan Tuhan yang Mahakasih dan Mahakudus. Seandainya Yudas menunggu tiga hari saja, kita mungkin akan membaca kisah tentang pengampunan Yesus. Sebaliknya, Yudas tersandera oleh rasa bersalah dan memutuskan untuk menyerah. Kita tidak pernah tahu pergulatan yang ada di pikiran Yudas saat itu hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Yang jelas, dia mencoba membayar apa yang Yesus sedang tebus dengan kematian-Nya. Yesus disalib untuk menghapus dosa umat manusia, termasuk dosa Yudas, tetapi Yudas memilih mati demi menebus dirinya dan menghapus dosanya sendiri.
Yudas melihat bahwa Yesus disalib karena kesalahan dia semata, padahal bukan. Yesus disalib karena Dia taat kepada rencana agung Allah Bapa. Dengan atau tanpa pengkhianatan Yudas, Yesus tetap akan disalib karena Yesus memilih hal tersebut. Yesus bisa saja membungkam mulut orang-orang yang menghujat-Nya, mematahkan belenggu yang ada di tangan-Nya, dan menunjukan kuasa-Nya di hadapan Herodes, Imam Besar, dan Pontius Pilatus, tetapi Yesus memilih salib. Yesus memilih menyelamatkan umat manusia ketimbang menyelamatkan diri-Nya. Yudas tidak menyadari hal ini.
Yudas seharusnya mendengar waktu Yesus berjanji “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit,” (Mrk. 9:31). Sayang, waktu itu dia tidak mengerti perkataan Yesus tersebut, sama halnya dengan murid-murid lainnya. Seandainya saja dia mengerti dan berpegang pada janji Yesus lalu menunggu tiga hari saja, dia akan menjadi saksi langsung kenyataan dari perkataan Yesus itu, dan dia bisa kembali kepada Yesus untuk menerima pengampunan-Nya. Tragisnya, dia memilih untuk menghukum dirinya sendiri.
Kisah Yudas membuat kita belajar tentang hukuman dari dalam diri sendiri dan label buruk yang kita terima dari orang lain. Kita bisa mengendalikan diri sendiri tapi kita tidak mungkin mengendalikan orang lain. Kita tidak akan mungkin bisa menyenangkan semua orang. Kita tidak mungkin tampil sempurna untuk menghindari label buruk dari orang lain, bahkan orang yang paling sempurna yang pernah hidup di muka bumi pun tetap diludahi dan disalib dengan brutal. Yudas gagal menanggung rasa bersalahnya, dan mengakhiri hidupnya sebagai bentuk hukuman terhadap dirinya sendiri.
Bagaimana dengan kita, yang juga masih bisa berbuat dosa atau salah dalam kehidupan kita sehari-hari? Apa yang bisa kita lakukan bila kita diliputi oleh rasa bersalah? Teladan yang mungkin lebih tepat ialah Petrus. Dalam kisah penyaliban Yesus, Yudas bukan satu-satunya yang mengambil peran pengkhianat. Yudas memang berkhianat secara “aktif”, tetapi banyak murid lain berkhianat pula dengan caranya masing-masing. Petrus pun demikian. Dia yang sesumbar akan melindungi Yesus justru melarikan diri, bahkan menyangkal Yesus. Petrus sesungguhnya tidak lebih baik dari Yudas dalam hal kesalahan itu. Yesus bahkan pernah menghardik Petrus dengan berkata, “Enyahlah, Iblis!” (Mrk. 8:33). Sama seperti Yudas, Petrus mungkin melihat bahwa Yesus mati di atas kayu salib karena kegagalan dia menjaga Yesus. Dia pun akhirnya tersandera oleh perasaan bersalah yang hebat saat itu. Namun, berbeda dengan Yudas, Petrus bukan menghukum dirinya atau berusaha menebus kesalahannya sendiri; dia memilih untuk berdiam diri. Petrus tidak membuat keputusan gegabah. Dia mungkin kehilangan imannya, tetapi dia melanjutkan hidupnya dengan cara yang menurutnya baik. Dia kembali ke perahunya untuk menjala ikan (walau dulu Yesus berjanji akan menjadikan dia penjala manusia). Pada akhirnya, Yesus pun mendatangi dia dan menepati janji-Nya terhadap Petrus. Petrus memberikan hidupnya babak yang baru, dan demikianlah Yesus mengerjakan babak baru yang sempurna versi-Nya bagi Petrus.
Ketika kita tersandera dengan perasaan bersalah yang cukup besar, ambillah waktu tenang dan biarkan Tuhan menemui kita. Konsekuensi kesalahan kita memang tidak bisa dihindari, tetapi jangan hadapi hal itu sendirian. Kita mungkin akan menerima kritik, penolakan, dan label negatif dari orang lain, tetapi yakinlah bahwa kita tidak kehilangan status sebagai sahabat bahkan anak Allah. Yesus saja masih memanggil Yudas sebagai teman saat Yudas mengkhianati Dia (Mat. 26:50)! Yesus juga masih menemui Petrus dan mengajaknya berbicara hati ke hati berdua saja, walau Petrus telah menyangkal dia. Di titik terendah kita sekalipun, izinkan Tuhan menemui kita dan menepati janji-Nya, bahwa Dia akan menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat. 28:20). Bertahanlah sampai Tuhan menjumpaimu, karena Dia sungguh setia.