Tentu saja tubuh kita tak bermaksud membunuh kita, justru tubuh kita sebenarnya secara alami berusaha melindungi kita dari kematian. Namun, inilah yang sering terjadi dalam kehidupan kita. Seringkali kita tanpa sadar dan secara alami melakukan usaha-usaha dan tindakan untuk melindungi diri dari rasa sakit, namun alhasil yang terjadi justru tindakan itulah yang malah membunuh kita. Apa contohnya?
Seorang teman begitu sulit sekali percaya dan sonship kepada sosok otoritas. Ia sering sekali “melawan” dan bahkan “menantang” siapapun figur pemimpin yang ia jumpai. Maklum, ia sudah berkali-kali terluka dan dimanfaatkan oleh figur-figur pemimpin. Hatinya telah berdarah-darah. Maka dalam usaha untuk melindungi diri supaya ia tidak lagi tersakiti, dimulailah proses “spasme hati” (yang bahkan mungkin ia tidak sadar sedang terjadi dalam hidupnya).
Ia mulai mempertanyakan, pesimis, dan tidak gampang percaya pada pemimpin. Tindakan-tindakannya “melawan” dan “menantang” adalah usaha untuk melindungi diri supaya ia tidak tersakiti lagi. Tampaknya ini sebuah tindakan penyelamatan agar hatinya tak terluka lagi. Namun yang terjadi, ia justru kehilangan kesempatan dicover dan diayomi. Ia kehilangan kesempatan untuk diarahkan dan disupport oleh seorang pemimpin. Dan jika ia terus melakukan itu, mungkin seumur hidupnya ia tak akan pernah bisa memimpin dengan benar karena seorang pemimpin selalu lahir dari orang yang bersedia untuk dipimpin.
Inilah yang saya sebut dengan spasme hati. Banyak orang berusaha melindungi hati mereka dari trauma dan takut terluka, namun di saat yang sama, “perlindungan” itu juga menjauhkan mereka dari kesempatan untuk bisa pulih. Bahkan, dalam kasus yang lebih akut, seorang kenalan saya memilih untuk tak mau lagi percaya dan berhubungan serius dengan pria karena ia sudah berkali-kali dikhianati dan disakiti oleh pria. Hatinya juga berdarah. Maka proses spasme hati terjadi lagi. Entah sadar atau tidak, ia mulai berperilaku “rese” kepada semua pria dan selalu mengkritik karakter maupun kepriaan semua teman-temannya. Ini adalah usaha untuk melindungi diri agar tak disakiti lagi, namun di saat yang sama, ia juga kehilangan kesempatan untuk dicintai oleh segelintir pria benar yang mungkin saja hadir dalam hidupnya. Ia tak sadar sedang membunuh kehidupannya sendiri.
Itu sebabnya ketika Kristus mati di kayu salib, Dia menebus semua luka dan sakit hati kita dan Dia berjanji untuk memberi kita HATI YANG BARU, supaya kita tak perlu lagi melakukan “bunuh diri” konyol melalui usaha-usaha spasme hati kita.
Dibutuhkan hati yang baru dan jamahan kasih Kristus untuk membuat kita punya keberanian dan damai sejahtera untuk kembali mempercayai lagi, kembali mencoba membangun hubungan lagi, kembali berani terjun ke dalam kehidupan yang sempat memahitkan kita, dan kembali berani mengambil resiko mengasihi orang lain meski ada kemungkinan untuk tidak dikasihi kembali. Hanya hati Kristus yang bisa begitu, karena itulah yang Dia lakukan kepada kita. Tanpa hati Kristus, kita takkan mampu menghentikan proses spasme hati yang perlahan-lahan membunuh kehidupan batin kita.
Jadi, ijinkanlah salibNya, darahNya, dan kasihNya memulihkan semua hal yang membuat hati kita terluka. Saat kita mengijinkan diri kita tenggelam dalam kuasa penebusanNya, maka Dia akan memberi kita hati yang baru. Dan Anda akan terkejut betapa hebatnya hidup dengan hati yang baru!
“Ketakutan untuk terjun ke dalam air, memang membuat Anda aman dari kemungkinan tenggelam, namun di saat yang sama juga menghapus kemungkinan untuk Anda bisa berenang.”
– Josua Iwan Wahyudi
JOSUA IWAN WAHYUDI
Master Trainer EQ Indonesi a | @josuawahyudi