/, Tokoh Alkitab/Tak pernah hilang dari ingatan

Tak pernah hilang dari ingatan

Siang itu terasa lebih panas dan menyengat daripada biasanya, sengatan matahari bercampur dengan debu yang beterbangan menambah pedihnya mata saat itu. Siang itu, puluhan anak-anak muda seusiaku sedang berbaris dengan gelisah menuju seorang komandan pasukan romawi yang menginterogasi satu demi satu anak muda di hadapannya. Berkali-kali terdengar bentakan dan kata-kata makian keluar dari mulut sang komandan bersama dengan teman-temannya yang berdiri dengan angkuh dan kejam.

Desa kami hanyalah salah satu dari sekian banyak desa orang Yahudi di pinggiran kota Roma yang sedang diperiksa untuk menemukan sebanyak mungkin orang Yahudi yang menjadi kristen (pengikut Kristus). Sudah menjadi berita yang selalu dibicarakan para tetanggaku bahwa orang-orang Kristen  diangkut dan dijadikan makanan singa atau permainan para gladiator, sebagai atraksi bagi penduduk kota Roma.

Saat ini ada lima anak muda di depanku sebelum aku mendapat giliran untuk berhadapan dengan sang komandan Romawi yang bengis. Aku ikut tertangkap tentara Romawi karena saat itu sedang berada bersama-sama dengan beberapa orang Yahudi dalam sebuah pertemuan ibadah di salah satu rumah penduduk di desa itu. Satu demi satu, aku dengar anak-anak muda di depanku menyangkal bahwa mereka adalah orang kristen, padahal mereka beberapa kali ada di dalam ibadah orang Kristen bersama-sama denganku. Memang penyangkalan dapat membuat tentara Romawi tidak membawa mereka ke stadium di kota Roma. Tetapi, bagaimana dengan diriku…?

Dalam hitungan sepersekian detik, ingatanku kembali dibawa dalam sebuah perjumpaan beberapa belas tahun yang lalu. Saat itu aku masih berusia 6 tahun, dan siang itu sepanas dan seterik siang ini… Aku ingat itu dan tidak pernah bisa aku lupakan… Ayah dengan sigap bersama ibu membantuku memakai kasut dan membawa bekal. Berkali-kali aku bertanya, “Kita mau ke mana?” Pertanyaanku ini selalu dijawab dengan senyum semangat oleh ayah dan ibu, “Kita akan bertemu Rabbi (=guru).” Wow… Saat itu aku sangat senang dan ikut bersemangat karena memang aku sudah sering mendengar cerita ayah dan ibu tetang betapa ajaibnya Rabbi tersebut.

Dengan setengah berlari aku digandeng oleh ayah dan ibu menuju sebuah bukit. Semakin aku mendekati bukit itu, semakin ramai orang yang juga sedang tergesa-gesa bergegas berjalan, tepatnya berlari, menuju lokasi yang kami tuju. Sebagian besar adalah orang dewasa, namun ada juga anak-anak seperti aku, tetapi tidak banyak.

Setelah kami tiba di lokasi Sang Rabbi, kerumunan orang begitu banyak sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa.  Ayah bertekad untuk membawaku berjumpa langsung dengan Sang Guru, maka tanganku digenggam erat-erat dan ia berpesan, “Jangan lepaskan tangan ayah…” Akhirnya melalui perjuangan berdesakan-desakan orang-orang lain yang juga berusaha menemui Sang Rabbi, ayah berhasil mendorong aku ke depan melalui sela-sela orang-orang dewasa yang berdiri rapat di depanku. Aku berhasil maju ke depan dan ternyata ada beberapa anak kecil lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Sayang, kami tidak berjumpa dengan Sang Guru tetapi justru dengan orang-orang dewasa yang berwajah tidak bersahabat (seingatku mereka adalah murid-murid Sang Rabbi). Dengan galak mereka melarang kami anak-anak untuk meneruskan langkah kami, lalu anak di sebelahku yang lebih kecil mulai menangis ketakutan. Di saat yang menakutkan itu, tiba-tiba terdengar suara yang hangat namun berwibawa berkata, “Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”

Saat itu juga, semua orang dewasa yang menyeramkan itu menyingkir dan memberikan jalan kepada kami anak-anak untuk dapat melihat wajah penuh kasih dari Sang Rabbi. Rabbi itu membuka kedua tanganNya menyambut kami. Melihat itu, tanpa perlu dikomando lagi kami berlarian berlomba-lomba memeluk Sang Rabbi. Satu per satu, kami didoakan oleh Sang Rabbi. Kemudian, tibalah giliranku. Sang Rabbi menumpangkan tanganNya di atas kepalaku dan Ia berkata, “AnakKu, dengarkan, Aku adalah Allah, tetapi Aku telah mengosongkan diriKu sendiri, dan mengambil rupa seorang manusia untuk menyelamatkan kamu dengan taat berkorban sampai mati..” Kata-kata itu rasanya sulit kumengerti saat itu, tetapi kasih yang terpancar dari mataNya membuatku menyadari bahwa Sang Rabbi betul-betul bisa dipercaya dan aku aman bersamaNya. Perjumpaan di masa kecil itu ternyata telah membuat aku penasaran dan selalu ingin mengikuti berita tentang Dia melalui ayah dan ibu. Perjumpaan itulah yang membuat aku saat remaja memutuskan untuk menjadikanNya Tuhan dalam hidupku. Ayah dan ibu, sekalipun kalian sudah terlebih dahulu meninggal, kerja keras kalian untuk membawaku berjumpa denganNya semasa kecil tidak pernah sia-sia, karena kini aku sudah tahu dan siap untuk apa yang harus kukatakan kepada tentara Romawi. Dia bukan lagi sekadar seorang Rabbi yang agung, tetapi Tuhan yang menjadi Raja dan bertahta di hati serta hidupku.

“Ya, berikutnya, anak kampung, kamu maju!! Kamu orang Kristen?” bentak komandan Romawi itu dengan kasar.

“Ya betul, nama saya STEFANUS, orang Kristen, pengikut Yesus Kristus Tuhan.”

2019-10-17T15:35:52+07:00