///Task oriented vs People oriented

Task oriented vs People oriented

Suatu hari, lagi-lagi saya menerima keluhan dari seseorang yang sedang saya bimbing di bidang bisnis dan pekerjaan. Bedanya, kali ini keluhan justru datang dari seseorang dengan status jabatan tinggi di perusahaan. Ia bukan sekadar manajer atau GM, ia adalah seorang CEO. Keluhannya dimulai dari rendahnya kepercayaan orang-orang yang dipimpin kepada dirinya. Bahkan, ia dapat merasakan bahwa para GM, manajer, dan staf di bawahnya seolah-olah menghindar bertemu dengannya. Seperti antipati.  Saya percaya bahwa masalah relasional semacam itu tidak muncul secara tiba-tiba. Pasti ada “sumber api” ketika kita merasa ada “bau asap” yang menyengat, bukan? Saya pun mengajak dia mengobrol dan mendengarkan ceritanya. Dari situlah, saya mulai dapat menyusun peta persoalan.

CEO ini punya gaya seperti kebanyakan orang di tingkat kepemimpinan. Ia menerapkan gaya kepemimpinan “3M”, yaitu memerintah, mengontrol, dan bila perlu mengomel/memarahi. Ia yakin bahwa itulah gaya terbaik yang cocok untuk diterapkan bagi seluruh jajaran stafnya. Menurutnya, bawahan baru bisa patuh dan bekerja keras bila diperlakukan keras. “Karyawan sekarang rata-rata lembek, malas, tidak taat target, gampang mengeluh, lebih banyak ngobrol dan main di media sosial,” keluhnya. Itu sebabnya, ia sangat ketat mengontrol seluruh bawahannya, termasuk para GM dan manajer. “Lengah sedikit, mereka bisa berbuat semaunya,” begitu katanya dengan tegas.

Dengan gaya seperti itu, CEO ini, sadar maupun tidak, membatasi diri dalam membangun relasi di kantor. Baginya, terlalu dekat dengan bawahan akan mengurangi wibawanya, anak buah bisa ngelunjak, dan kepatuhan pun jadi hilang. Baginya, relasi hanya perlu dijaga sekadarnya. Tak perlu ada obrolan basa-basi, apalagi curhat sampai ke hati. Alhasil, hubungan si CEO dengan karyawan yang dipimpinnya memang rapuh. Interaksi lebih banyak diwarnai dengan instruksi dan teguran, minim dukungan atau diskusi yang produktif. Karyawan merasa hanya menerima lemparan tugas yang bertubi-tubi, bukan pendelegasian yang memberdayakan.

Saya mencoba mengurai masalah itu karena si CEO meminta saran perbaikan. Hal pertama yang tampak adalah bahwa si CEO sangat task-oriented. Ia tidak terlihat sebagai pribadi yang people-oriented. Baginya, relasi yang baik dan harmonis justru dapat melemahkan ketaatan dan itu berefeknya negatif pada pencapaian target. Benarkah demikian? Apakah kepemimpinan yang people-oriented “kalah bagus” dibandingkan dengan task-oriented (yang juga sering disebut result-oriented)?

Mari kita bedah perbedaannya lebih jauh. Pemimpin yang people-oriented adalah pemimpin yang berfokus untuk mendukung dan memotivasi anggota tim demi mengembangkan kualitas mereka, dengan cara meningkatkan kualitas hubungan atasan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan semacam ini mendorong kerja sama tim yang baik dan kolaboratif melalui pembinaan hubungan positif dan komunikasi yang baik. Pemimpin jenis ini berorientasi pada hubungan, memprioritaskan kualitas kerja semua orang dalam kelompok, dan menginvestasikan waktu serta usaha untuk memenuhi kebutuhan individu setiap orang yang terlibat. Ia juga menciptakan interaksi yang lebih santai dengan anggota tim untuk memahami kekuatan dan kelemahan mereka serta menciptakan lingkungan kerja yang non-kompetitif dan terbuka. Lebih dalam lagi, manfaat kepemimpinan yang people-oriented adalah:

Pertama, anggota tim punya keyakinan bahwa pemimpin peduli tentang kebutuhan mereka. Karena itulah, kepercayaan dapat bertumbuh subur di antara keduanya, atasan dan bawahan.
Kedua,
suasana lingkungan kerja menjadi positif karena individu merasa didorong untuk maju sehingga produktivitas anggota tim dan seluruh tim meningkat. Konflik pribadi, ketidakpuasan dengan pekerjaan, kebencian, dan bahkan kebosanan memang dapat menurunkan produktivitas. Dalam gaya kepemimpinan people-oriented, pemimpin akan memastikan bahwa masalah tersebut tetap minimal, bahkan teratasi.
Ketiga, dan ini adalah keuntungan yang terbesar, anggota tim cenderung lebih bersedia mengambil risiko, karena mereka merasa aman dengan mengetahui bahwa pemimpin akan memberikan dukungan jika diperlukan.

Namun, dengan segala keuntungan ini, efek buruk pun ada pada gaya kepemimpinan yang people-oriented. Tak dapat dipungkiri, efek-efek buruk inilah yang menjadi kekhawatiran CEO tadi. Relasi yang terlalu jauh dan mendalam seringkali membuat lunturnya sistem kontrol untuk mencapai target dan menyelesaikan tugas, khususnya jika salah satu atau semua pihak gagal berelasi sesuai batas-batas yang profesional.

Sekarang kita tengok gaya yang kedua, yaitu kepemimpinan yang task-oriented.
Pemimpin yang memiliki gaya task-oriented berfokus pada serangkaian tugas yang harus didelegasikan untuk mencapai tujuan dan target yang sudah ditentukan. Pemimpin jenis ini cenderung kurang peduli dengan ide inovatif karyawan. Baginya, tugas pemimpin adalah membagi tugas, mengontrol, dan selanjutnya mengevaluasi kemajuan tim.

Keuntungan kepemimpinan yang task-oriented adalah:
Pertama, kuatnya sistem kontrol yang memastikan bahwa tenggat dan target terpenuhi. Semua ini sangat berguna untuk anggota tim, terutama mereka yang tidak mengelola waktu serta tidak berkinerja dengan baik.
Kedua, jenis pemimpin ini cenderung memberikan contoh pemahaman yang kuat dan utuh tentang bagaimana berfokus pada prosedur kerja yang diperlukan, sehingga dapat mendelegasikan pekerjaan yang sesuai untuk memastikan bahwa semuanya akan dilakukan pada waktu yang tepat dan produktif. Singkatnya, kinerja dan produktivitas tim maupun perusahaan terjaga, bahkan cenderung meningkat.

Adakah efek buruk pada gaya kepemimpinan task-oriented? Ada. Pemimpin yang task-oriented cenderung tidak berpikir banyak tentang kebutuhan, kesejahteraan, dan ketenteraman kerja tim. Dalam level akut, anggota tim dapat mengalami demotivasi dan hal itu tentu saja kontraproduktif dengan semangat si pemimpin yang task-oriented.
Dalam kenyataan di lapangan, setiap pemimpin memiliki gaya yang merupakan perpaduan keduanya.Empat kombinasi dari dua gaya kepemimpinan ini memberikan konsuekuensi yang berbeda-beda, yaitu:

Terlalu people-oriented, kurang task-oriented
Hasil: Hubungan dan kekompakan baik, kinerja dan produktivitas buruk

Terlalu task-oriented, kurang people-oriented
Hasil: Kinerja dan produktivitas baik, hubungan dan kekompakan buruk

Kurang people-oriented, kurang task-oriented
Hasil: Hubungan dan kekompakan buruk, kinerja dan produktivitas buruk

Seimbang antara task-oriented dan people-oriented (ideal)
Hasil: Kinerja dan produktivitas baik, hubungan dan kekompakan baik

*Sumber: Keating (1986) dalam Pasolong (2007: 38)

Mari kita amati hasil dari keempat gaya kepemimpinan ini satu per satu.

1. Hubungan dan kekompakan baik, kinerja dan produktivitas buruk
Situasi ini tercipta dari gaya kepemimpinan yang berusaha menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok, tetapi kurang mendorong tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas-tugas bersama. Kinerja dan produktivitas terkorbankan karena si pemimpin lebih mengutamakan suasana yang serbadamai dan tenteram, atau sering kurang tegas akibat terlalu berusaha menjaga harmonisasi dalam perusahaan.

2. Kinerja dan produktivitas baik, hubungan dan kekompakan buruk
Situasi ini tercipta oleh pemimpin yang menekankan segi penyelesaian tugas dan tercapainya tujuan kelompok, meskipun mengorbankan hubungan baik dalam tim kerja. Gaya kepemimpinan ini direktif, dengan kontrol yang ketat. Gaya ini baik untuk kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan sasaran yang jelas, serta untuk kelompok yang telah kehilangan arah, tidak mempunyai lagi tujuan dan sasaran, tidak mempunyai kriteria untuk meninjau lagi hasil kerjanya, yang sudah kacau dan perlu “dibangkitkan” kembali kehidupan kinerjanya. Contohnya adalah dalam usaha dagang yang penuh persaingan dan perusahaan yang sedang mengalami situasi kritis. Karena hubungan dan kekompakan dalam tim diabaikan, gaya ini bukan untuk diterapkan dalam situasi yang normal.

3. Hubungan dan kekompakan buruk, kinerja dan produktivitas buruk
Situasi ini jelas sekali negatif, dan muncul karena gaya kepemimpinan yang tanpa arah sekaligus tanpa relasi. Si pemimpin mungkin jarang hadir di tempat, terlalu banyak asal mendelegasikan tugas kepada tim tanpa perencanaan dan pengawasan yang efektif. Perilaku tim kerja cenderung asal, tidak produktif, disiplin rendah, dan situasi kerja menjadi tidak kondusif. Ini adalah cerminan kepemimpinan yang membutuhkan evaluasi yang mendalam atau bahkan pergantian, jika perlu.

4. Kinerja dan produktivitas baik, hubungan dan kekompakan baik
Inilah hasil yang ideal dari gaya kepemimpinan yang ideal pula. Pemimpin seperti ini membentuk budaya kerja yang mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. Tim kerja didorong untuk selalu berprestasi, berkembang dan kreatif, baik melalui target dan arahan kerja maupun melalui relasi yang dibangun dengan sehat dan profesional. Sebaliknya, hubungan, kekompakan, dan budaya kerja yang saling menghargai selalu dibangun, sambil produktivitas serta kinerja tetap menjadi fokus. Dengan gaya kepemimpinan ini, pemimpin menjadi teladan (role model) yang bukan hanya membuahkan hasil situasi yang ideal tadi, tetapi juga melahirkan kepemimpinan generasi selanjutnya dari tim kerja yang dipimpin.

Dari pembelajaran ini, kita kembali kepada si CEO di awal kisah tadi. Saran yang kemudian saya berikan untuk mengatasi masalahnya adalah untuk bersikap luwes. Pemimpin perlu bergerak berayun secara dinamis, dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang seimbang antara kapan harus berorientasi pada pencapaian target dan kapan harus berorientasi pada membangun relasi. Dengan demikian, pemimpin menciptakan hasil berupa situasi kerja yang ideal: kinerja dan produktivitas baik, sekaligus hubungan dan kekompakan baik. Bagi pemimpin setingkat CEO seperti dia, hal ini tidak terlalu sulit karena ia tidak bersentuhan langsung dengan staf di tingkat teknis. Dalam situasi kritis, gaya task-oriented perlu diperbanyak porsinya, sedangkan dalam kondisi sebaliknya, gaya kepemimpinan perlu lebih rileks dalam berelasi menghadapi anggota tim. Intinya, mainkan gaya kepemimpinan yang seimbang dan situasional. Dalam posisi kita sebagai pemimpin Kristen, kita perlu meneladani gaya kepemimpinan Yesus sendiri. Bukankah ada kalanya Yesus tegas memberi instruksi atau bahkan menegur murid-murid-Nya, tetapi ada kalanya juga Ia rileks mengobrol atau makan bersama mereka? Di akhir diskusi kami, saya berkata kepada si CEO, “Selamat mempraktikkan dan menuai hasilnya!”

2019-10-17T10:57:19+07:00