//Teman Sebangku di Perjalanan

Teman Sebangku di Perjalanan

Dalam sebuah perjalanan, terdapat dua jenis manusia: mereka yang berharap kursi sebelahnya kosong sepanjang perjalanan; dan mereka yang pada akhir perjalanan sudah bertukar nomor kontak, saling follow akun media sosial, dan menetapkan tanggal janji temu sambil makan bersama di lain waktu setelah tiba di kota tujuan; seakan-akan mereka adalah teman akrab yang persahabatannya sudah berlangsung belasan tahun. Saya sendiri adalah bagian dari jenis yang pertama, yang menganggap adanya seseorang di sebelah kursi saya (baik di kereta maupun pesawat) adalah hal yang merepotkan. Tentu saja keberadaan orang di samping berarti saya tidak bebas bergerak, harus berbagi ruang gerak karena jika tidak, mungkin siku saya bisa saja tidak sengaja menghantam tubuhnya. Belum lagi jika ingin buang air kecil dan posisi saya dekat jendela, maka saya harus meminta izin lewat, belum lagi kalau orang tersebut tertidur di perjalanan dan saya harus membangunkannya agar bisa lewat. Tidak hanya itu, bagaimana jika penumpang sebelah tersebut adalah orang yang cerewet dan senang bertanya, dan sedangkan saya ingin istirahat dan tidak ingin diganggu? Pertanyaan dan pertimbangannya berlanjut, hingga pada akhirnya saya mendapati perjalanan saya dipenuhi dengan keluhan demi keluhan.

Pemikiran-pemikiran saya ini menggambarkan pertimbangan-pertimbangan kita dalam pertemanan. Dalam berbagai konteksnya, mungkin kita tidak se-ekstrem itu, sampai tidak mau bersosialisasi atau menghindari pembicaraan dengan siapa pun, tetapi mungkin bentuknya adalah kepercayaan bahwa perjalanan hidup ini akan lebih mudah jika dilewati tanpa ada penumpang di sebelah kursi kita. Bisa juga, kita tidak masalah dengan adanya penumpang di sebelah, tetapi ada batasan-batasan yang kita buat supaya penumpang tersebut tidak melanggar ruang privasi kita. Semuanya terkesan wajar dan masuk akal, apalagi bagi kita yang juga sudah mencicipi pertemanan yang berujung pada konflik dan sakit hati. Menyendiri dalam ruang personal kita kedengarannya lebih aman dan nyaman…

TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja…’ (Kej. 2:18a)

Ternyata, kepercayaan bahwa perjalan lebih baik dilalui seorang diri itu tidak sesuai dengan yang Firman Tuhan nyatakan. Sejak semula Tuhan tidak bisa membiarkan manusia hidup dengan dirinya sendiri saja. Allah kita ialah Allah yang setiap saat “terobsesi” dengan (ya, bukan sekadar menyukai atau menggemari) hubungan. Dia seolah”kecanduan” untuk menjalin hubungan yang dekat, dalam, dan pribadi antara kita dengan Dia; serta rajin sekali mengerjakan hubungan kita dengan sesama. Bahkan, seluruh sistem kasih karunia Allah mengalir dalam hubungan antarmanusia, sehingga bukan hanya kita melakukan perjalanan hidup kita dengan menerima kenyataan bahwa di bangku sebelah ada penumpang, tetapi setiap orang yang Dia atur untuk duduk di sebelah kita sebenarnya adalah orang yang tepat untuk saling berbagi, menjaga, mengasihi, dan mengantarkan kasih Kristus ke dalam hidup kita.

Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! (Pkh. 4:9-10)

Ketika mengeluh tentang segala kerepotan karena adanya penumpang lain di samping, saya sering lupa bahwa penumpang itu ialah orang yang memiliki tujuan perjalanan yang sama, melewati durasi perjalanan yang sama, dan merasakan segala guncangan dan turbulensi yang sama. Apa yang saya alami, dia juga merasakannya. Bahkan, jika saya mengizinkan yang lebih dari itu, dia juga dapat menjadi penanggung jawab atas kepemilikan saya di perjalanan itu saat saya harus ke toilet, dan demikian sebaliknya. Saya bisa mempercayakan dia untuk membangunkan saya jika sudah waktunya makan malam, dan saya bisa menyediakan diri untuk menjadi pengingat waktu jika ia ingin dibangunkan di jam tertentu. Bukankah dengan begini, perjalanan kami berdua justru akan jadi lebih mudah dan menyenangkan?

Begitulah perjalanan kehidupan kita pula. Tidak ada satu pun dari kita yang akan memiliki perjalanan yang lurus dan lancer sama sekali tanpa gangguan. Guncangan, konflik, dan tekanan akan terjadi, serta rute perjalan kita juga mungkin akan melewati titik-titik berbahaya (“lembah kekelaman”). Namun, sekali lagi, Allah yang tidak suka membiarkan kita sendirian tu telah merancang perjalanan kita. Dia telah mengatur orang-orang yang tepat untuk saling berbagi hidup dengan kita, menjaga dan mengasihi, menerima dan menegur, serta menangis dan tertawa bersama dalam perjalanan kita. Tuhan jugalah yang akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang perlu mengalami penyertaan Tuhan yang dinyatakan lewat keberadaan kita dalam hidupnya. Tuhan menyediakan setiap kekuatan dan kasih karunia yang kita butuhkan lewat Tubuh-Nya, yaitu perjalanan bersama itu. Bisa jadi, di dalam komunitas tempat kita berada sekarang terdapat mereka yang sedang duduk bersama kita dalam perjalanan yang sama, tetapi tidak memiliki teman sebangku yang dapat dia percaya.

Kristus telah menaruh di dalam kita, benih-Nya dan rupa-Nya dan gambar-Nya sendiri. Dia sendirilah yang menciptakan kita, merancangkan segala hal dalam hidup kita dalam kekekalan, dan memilih kita sejak semula untuk menjadi bagian dari Tubuh-Nya di bumi. Ia memberikan seluruh hidupnya, kedalaman isi hati-Nya, dan seluruh pribadi-Nya, bahkan hidup-Nya bagi kita di kayu salib, menjadi kasih yang terbesar dari seorang sahabat demi kita dapat mengalami dan mempraktikkan langsung kasih Kristus yang begitu hebat.

Mari lihat ke sekeliling dan amati pengaturan Tuhan. Tuhan dalam rencana-Nya yang kekal telah mengatur pertemuan kita dengan teman seperjalanan kita dalam Kerajaan Allah. Maukah kita membuka dan menyediakan diri untuk menjadi teman seperjalanan bagi orang lain pula?

2020-03-27T12:37:04+07:00