///The Eight-Dimension Matrix of Self Developmental Quotient (6)

The Eight-Dimension Matrix of Self Developmental Quotient (6)

Dalam edisi sebelumnya, seri artikel The Eight-Dimension Matrix of Self Developmental Quotient ini membahas Active Network (jejaring yang aktif). Kali ini, kita akan membahas Life-long Learning, yaitu pembelajaran seumur hidup.

“Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan.” – Amsal 1:5)

Sesungguhnya, belajar memang adalah proses seumur hidup. Belajar pun tidak terbatas pada lingkup atau bentuk pendidikan formal yang berdasarkan usia atau waktu, tetapi justru perlu dilakukan secara nonformal oleh siapa saja dan kapan saja. Bahkan proses belajar seumur hidup ini berarti sama sekali tidak ada batas akhir bagi kita untuk belajar; selama kita masih hidup kita perlu belajar.

Pertanyaannya, apakah pembelajaran yang kita lakukan selama ini efektif? Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui apakah hal-hal yang kita pelajari bermanfaat bagi masa depan dan apakah hal-hal itu berfokus pada talenta yang kita miliki. Banyak orang mempelajari banyak hal tetapi apa yang dipelajarinya itu kurang atau tidak bisa digunakan di dalam kehidupannya. Kurang atau tidak bermanfaat. Alhasil, pembelajaran itu tidak mendatangkan berkat, bahkan bagi si pembelajar sendiri.

Berikut ialah tiga hal penting yang perlu kita perhatikan agar pembelajaran kita mendatangkan berkat bagi seumur hidup kita serta bagi sesama.

 

  1. Scientific perception (persepsi ilmiah)

Dalam kitab Amsal, Raja Salomo menyampaikan bahwa persepsi ilmiah itu datangnya dari orang rajin, disiplin, punya rasa mau tahu, dan keinginan belajarnya tinggi; karena orang yang belajar akan memperoleh pengetahuan. Sebaliknya, orang bodoh terbentuk dari orang yang berkarakter malas, tidak mau tahu, cuek, dan akhirnya makin tidak tahu apa-apa. Amsal 13:16 (TB) menyatakannya, “Orang cerdik (mau belajar) bertindak dengan pengetahuan, tetapi orang bebal (malas belajar) membeberkan kebodohan.”

Orang yang berpengetahuan akan mendapatkan data-data dari fenomena yang terjadi, misalnya pengalamannya, lalu menganalisis data-data itu serta mengolahnya dengan logika hingga menjadi sebuah kesimpulan yang disebut dengan pengetahuan. Ini sesuai dengan kehendak Tuhan, dan Tuhan pun mengurapi usaha manusia yang demikian. Keluaran 35:31 (TB) menunjukkan contohnya dengan baik, yaitu orang-orang cerdas yang terpilih untuk bertugas dalam proyek pembangunan Kemah Suci, “…dan telah memenuhinya dengan Roh Allah, dengan keahlian, pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan.”

Demikian pula, Firman Tuhan pun menegaskan perbedaan orang berpengetahuan dan orang bodoh. Salah satunya melalui Amsal 1:7 (TB), “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Jelas terlihat bahwa pengetahuan dimilai dari takut akan Tuhan. Orang yang takut akan Tuhan mendapatkan hikmat, dan hikmat itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengetahuan. Sayangnya, orang yang tidak berpengetahuan justru tidak mau belajar, malas, dan suka mengulangi kesalahan yang sama.

 

  1. Failing Forward principles (biar gagal asal tetap maju)

Failing Forward principles merupakan serangkaian prinsip yang diperkenalkan oleh John Maxwell, sang pakar kepemimpinan. Pada intinya prinsip ini menyatakan bahwa ketika kita gagal, kita bisa mengambil esensi kegagalan kita itu menjadi sebuah proses pembelajaran menuju keberhasilan. Unsur pentingnya agar ini bisa terjadi terdiri dari tiga hal berikut:

 

Tidak menyerah pada kegagalan

Amsal 24:16 (TB) berkata, “Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.” Angka tujuh di dalam Alkitab umumnya melambangkan kesempurnaan. Artinya, meski kegagalannya sudah betul-betul “sempurna”, orang benar akan “sempurna” pula kebangkitannya. Setiap kali terjatuh dalam kegagalan, orang benar akan bangkit kembali. Orang benar tidak akan pernah menyerah pada kegagalan, dan sikap pantang menyerah ini penting. Thomas Alfa Edison, sang penemu lampu pijar yang pernah gagal seribu kali dalam proses penemuannya itu, berkata “Aku bukan gagal seribu kali, tetapi aku telah menemukan seribu cara untuk mendapatkan pengetahuan.” Inilah contoh sikap orang benar, yaitu melihat kegagalan sebagai sebuah proses.

 

Evaluasi dan perbaikan diri

2 Timotius 3:16 (TB) menegaskan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Evaluasi berarti melihat kegagalan sebagai sebuah pengetahuan untuk perbaikan ke depan, dan orang yang mau mengevaluasi akan menemukan solusi untuk perbaikan dirinya.

 

Tidak melakukan kegagalan yang sama

Kita tentu bisa saja gagal, tetapi hendaknya kegagalan itu tidak pada hal yang sama berulang-ulang. Menjaga diri dari kegagalan yang sama akan menolong kita untuk maju terus, meski telanjur ada kegagalan di masa lalu kita.

 

  1. Bloom’s Taxonomy (Taksonomi Bloom, tahap perkembangan daya pikir manusia)

Pada tahun 1956, Benjamin Bloom, tokoh psikologi pendidikan dari Amerika Serikat, memperkenalkan Bloom’s Taxonomy. Taksonomi ini ialah peringkat tahap-tahap perkembangan daya pikir manusia. Cara otak manusia belajar dimulai dari mengetahui/mengingat, mengerti, kemudian barulah menerapkan/melakukannya. Selanjutnya, barulah kemampuan otak manusia berkembang hingga mampu menganalisis, mengevaluasi, sampai pada akhirnya menciptakan sesuatu yang baru.

Tuhan kita ialah Sang Pencipta (Kreator). Sebagai ciptaan Tuhan, kita pun memiliki daya cipta ini. Kita bisa menjadi innovator, yaitu orang-orang yang menghasilkan hal-hal baru, dengan memperbaiki atau mengembangkan hal-hal yang sudah ada menjadi lebih dari yang sebelumnya.

 

Kehidupan ini adalah proses pembelajaran: karenanya, belajarlah seumur hidup. Belajar dari kebenaran, dari kehidupan, dan dari hikmat Tuhan, dengan dimulai dari hidup takut akan Tuhan serta menambah pengetahuan.

2021-01-27T10:42:06+07:00