Keesokan harinya saya berangkat ke kantor seperti biasa dan sudah tidak ingat lagi tentang koran itu. Tapi sungguh luar biasa, ternyata bocah itu sudah menunggu di tepi jalan dekat lampu merah sambil melambai-lambaikan tangannya. Tergesa-gesa ia menghampiri mobil saya dan berkata, “Ini uang kembalian bapak yang kemarin”. Hati saya terharu sekaligus bangga, kita patut belajar dari integritas seorang anak
MEMAHAMI MAKNA INTEGRITAS
Integritas berkenaan dengan jati diri. Integritas berbicara mengenai kesejatian bukan kemunafikan, kemurnian bukan pura-pura. Yesus dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut, namun Ia tidak berkompromi dengan sikap orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka diumpamakan seperti kubur yang dilabur putih. Dari luar tampak putih bersih, namun di dalamnya penuh tulang belulang. Betapa keras pernyataan itu.
Integritas menyatakan apa adanya diri kita secara tulus. Suatu keberanian dan keteguhan untuk menyatakan diri dengan jujur tanpa manipulasi demi keuntungan atau motivasi tertentu. Orang yang berintegritas adalah orang yang memiliki keutuhan dan keselarasan dalam pikiran, perasaan, sikap perbuatan dan perkataan. Semua aspek dalam dirinya internal dan eksternal tetap sinkron dan harmonis. Tidak ada rekayasa atau kepalsuan.
INTEGRITAS DALAM PENGUASAAN DIRI
Memahami integritas seperti sebuah koin dengan dua sisi. Satu sisi adalah gambar raja, sedangkan sisi lain adalah nilai nominalnya. Gambar koin menjelaskan “who you are”, siapa anda sesungguhnya. Dan sisi nominalnya adalah “what you are”, atau apakah nilai atau kualitas anda.
Ketulusan tanpa hikmat adalah kenaifan. Kejujuran tanpa kebijakan adalah kebodohan. Karena dunia adalah padang belantara, dan kita diutus seperti domba di tengah serigala. Maka Yesus berkata, hendaklah kamu cerdik seperti ular, tapi tulus seperti merpati. Ketulusan harus disertai kecerdikan. Cerdik berarti mampu menguasai diri untuk bertindak benar pada saat, waktu dan situasi yang tepat.
MASALAH INTEGRITAS DIAWALI DARI KRISIS IDENTITAS
Persoalan integritas diawali dari kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. Krisis identitas terjadi dengan rusaknya citra Allah dalam diri Adam dan Hawa. Ketelanjangan membuat mereka merasa sangat malu dan segera menutup diri dengan daun-daun ara. Pikiran mereka mulai saling menuduh. Pembenaran diri dilakukan dengan pembelaan komunikasi dan kata-kata yang diucapkan. Krisis identitas cenderung menyembunyikan hal-hal yang dirasakan kurang sempurna. Sejak kejatuhan di dalam dosa, maka kita semua dilahirkan dalam tabiat dosa. Celakanya, kita tahu apa yang baik, tapi justru melakukan apa yang keliru. Hati nurani sadar tentang kebenaran, tapi perbuatan kita melakukan hal yang sebaliknya.
Akibat krisis identitas kita menjadi kehilangan citra diri. Kita selalu kuatir dengan diri sendiri, karena kita mulai saling menilai menurut ukuran yang serba tak sempurna. Rasa aman dibangun dari respon dan asumsi lingkungan di mana kita berada.
Ada orang yang merasa aman jika dia memiliki harta dan popularitas. Ada yang bangga dengan kepandaiannya, kesuksesan, wajah yang rupawan atau sekedar baju yang bagus, mobil yang keren dan masih banyak lagi. Kita seringkali tidak menyadari, namun semua itu bagaikan daun yang bisa layu.
Jika terbiasa memakai mobil, rasanya sulit kalau harus naik motor. Merasa kurang nyaman adalah hal yang wajar, tapi jangan sampai mengingkari kenyataan, itu gengsi yang membawa derita.
MENGAPA INTEGRITAS SEMAKIN LUNTUR?
Suatu ketika ada seorang ibu yang kena tipu. Ia membeli perhiasan emas, tapi ternyata hanya sepuhan belaka. Waktu dibeli perhiasan itu bagus sekali dan berkilau cemerlang. Tapi tidak lama dipakai, perhiasan itu menjadi pudar dan kelihatanlah bahan dasarnya hanya tembaga.
Kesejatian takkan luntur. Integritas yang luntur tidak hanya sekedar membuktikan kepalsuan. Tapi itu juga berarti bahwa ia tidak dibangun di atas fondasi yang benar. Ujian dan proses akan membuktikan kredibilitas sebuah integritas.
Ada empat fondasi yang keliru dalam membangun integritas:
TAKUT DITOLAK
Perasaan untuk mempertahankan penampilan atau standar tertentu agar selalu diterima dan dihargai orang lain. Sikap ini membuat orang mudah tersinggung dan sulit menerima evaluasi atau kritikan. Untuk menghindari penolakan, kita akhirnya berusaha untuk selalu menyenangkan orang lain.
TAKUT DIHAKIMI
Sikap perferksionis membuat kita sering menghakimi orang lain dan diri sendiri. Itu sebabnya kita juga menjadi takut dinilai dan dihakimi. Ketakutan ini akhirnya membuat kita jatuh ke dalam jurang kemunafikan.
TAKUT GAGAL
Ketakutan ditolak dan dihakimi orang lain akhirnya membuahkan rasa takut gagal. Kegagalan dianggap akhir dari segalanya. Kegagalan meruntuhkan semangat dan tekad. Rasa takut gagal membuat kita terbelenggu dan stagnasi di zona nyaman.
MERASA MALU
Rasa malu sebenarnya berkaitan dengan rambu-rambu etika. Menjadi positif jika digunakan secara tepat. Tapi perasaan malu yang berlebihan dan tidak berdasar merupakan sebuah jerat. Ini lebih tepat disebut gengsi. Sudah minder sombong pula.
PENGHALANG INTEGRITAS BAGAIKAN MUSUH DALAM SELIMUT
Dulu pernah ada sebuah lyric lagu “Buah semangka berdaun sirih”. Saya tidak tahu persis apakah itu maksudnya sinonim dengan pepatah serigala berbulu domba. Tapi itu semua sepertinya mengandung konotasi kepalsuan.
Kepalsuan adalah serupa tapi tak sama dengan yang asli. Nampaknya seperti sama, tapi sebenarnya tidak. Lalang dan gandum dibiarkan tumbuh bersama karena sulit untuk membedakannya. Tetapi ketika panen tiba, tanaman gandum akan mengeluarkan bulir-bulir yang siap dituai. Sedangkan lalang akan diikat dan dibakar habis.
Integritas yang sejati akan menghasilkan buah dan manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Tapi kepalsuan hanya mendatangkan kerugian pada akhirnya. Waktu adalah penguji yang terbaik. Tetapi seringkali waktu tidak menyisakan kesempatan kedua bagi kita.
Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar, sama seperti Kristus adalah benar