///The Unforgettable Sweet Seventeen

The Unforgettable Sweet Seventeen

Duduk di pojok ruangan sebuah kafe kekinian yang dipenuhi keriangan dan kehebohan, pandanganku terpaku melihat 24 anak muda asyik berceloteh dalam gaya dan suasana khas Generasi Z. Mereka adalah teman-teman dekat Dara, putri tunggalku. Dara terlihat begitu bahagia di antara teman-remannya.

Mereka ramai mengobrol dan mondar-mandir. Ada beberapa istilah dalam pembicaraan mereka yang tak kupahami, tetapi aku sangat menikmati keseruan mereka berfoto bersama dan berjoget untuk dipasang di TikTok. Memang, masa SMA adalah masa yang indah… dan anak-anak muda ini baru merasakan keindahan itu setelah kurang lebih dua tahun mereka menjalani KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) secara daring saja akibat pandemi Covid-19. Hari ini, mereka berkumpul khusus untuk merayakan ulang tahun Dara yang ke-17. Ya, Dara merayakan sweet seventeen-nya, yang sebenarnya sudah lewat sejak sepuluh hari sebelumnya. Perayaan itu ditunda karena Dara sempat tertular Covid-19. Tiba-tiba, muncul kelebat memori peristiwa sepuluh hari yang lalu itu di benakku. Peristiwa yang menegangkan sekaligus indah terjadi dan menguji iman kami: Yosef suamiku, aku, dan tentunya Dara sendiri.

Minggu pertama di bulan Juli itu, Dara pulang dari bermain di rumah bestie-nya, lalu selang dua hari kemudian dia mengalami demam tinggi. Saat itu, aku langsung memberikan Paracetamol dosis 500 mg untuknya, sambil memantau suhu tubuhnya dan mengompres keningnya dengan handuk basah demi meredakan nyeri dan tak nyaman yang dia rasakan. Kami bertiga di rumah segera memutuskan untuk memakai masker dan Dara tidak beraktivitas di luar kamarnya, mengingat itu terjadi di masa kenaikan tingkat penularan dan penyebaran Covid-19 varian Omicron. Setelah dua hari Dara demam, kami juga berkonsultasi ke dokter. Dara baru menerima dua dosis vaksin pertama, belum ditambah dengan vaksin penguat tambahan (booster) karena usianya belum 18 tahun. Menurut dokter, mungkin hal itulah yang menyebabkan demamnya cukup tinggi. Dokter menyarankan kami untuk melakukan tes Covid-19. Tes pertama adalah tes antigen mandiri, dan Dara mendapat hasil positif. Untuk memastikan hasil itu, Yosef mengantar Dara untuk menjalani tes PCR, dan sekali lagi hasilnya positif. Kami kedua orang tuanya belajar untuk rela menerima kenyataan ini, tetapi pergumulan yang lebih-lebih lagi dialami oleh Dara, khususnya karena dia akan berulang tahun yang ke-17 dua hari setelah tes PCR itu menunjukkan hasil positif. Kami bertiga perlu melakukan isolasi mandiri setidaknya selama 7-10 hari. Perayaan ulang tahun tidak mungkin tetap dilakukan sesuai rencana dan jadwal awal.

Kenyataan ini terasa tidak enak bagi kami bertiga masing-masing, tetapi ternyata Tuhan melakukan sesuatu yang indah di dalamnya. Pada hari ketiga saat demamnya mulai turun, Dara meminta waktu untuk berbicara berdua saja denganku. Aku memberi tahu Yosef soal permintaan Dara ini dan momen pembicaraan berdua saja antara aku dan Dara pun terjadi.

Dara masuk ke kamarku dengan mata sembap. Jelas, dia menangis dalam waktu yang tidak sebentar. Aku tidak akan pernah lupa momen itu. Sebelum mulut Dara sanggup berkata-kata, matanya menceritakan hebatnya pergumulan batin di dalam hatinya. Kami berdua duduk di tepi ranjang kamarku, sambil aku masih bisa merasakan sisa demam di tubuhnya saat dia memegang tanganku sambil berucap lirih, “Mama… aku takut… Aku sangat takut,” diikuti tangis yang belum pernah aku dengar sebelumnya bahkan sejak Dara lahir. Itu sebuah tangisan yang betul-betul terasa muncul jauh dari dalam hatinya dan sarat dengan ketakutan. Perlahan meski waswas, kucoba memberanikan bertanya balik, “Apa yang kamu takutkan, sayang…? Bisa kamu ceritakan ke Mama?”

Tiba-tiba Dara makin terisak sambil berkata cukup keras, “Aku takut kehilangan Tuhan di dalam hidupku, Maa…! Aku sudah banyak ngelakuin dosa dan gak jujur sama Papa dan Mama, aku banyak berbuat yang gak bener… Aku takut kalau aku mati aku nggak bisa ketemu Tuhan…!” Sekejap, aku bingung harus menjawab apa. Semua arus pertanyaan berkecamuk di otak dan hatiku, berusaha menangkap maksud Dara sebenarnya. Sebelum pemahamanku terbentuk, tanganku merengkuh putriku dalam satu pelukan. Kubiarkan kepalanya jatuh di dadaku dan kuusap dan tepuk punggungnya perlahan, “It’s okay… Kamu tenang ya, sayang…” Beberapa menit kemudian isak tangis Dara mereda, dan kucoba bertanya kembali, “Gimana, kamu sudah siap untuk ceritakan semuanya ke Mama?” Dara mengangkat wajahnya dan menatapku dengan sorot mata yang lemah tetapi jelas. Dia mengangguk pelan. Kuberikan segelas air putih hangat untuk lebih menenangkan napasnya, dan Dara pun mencurahkan semua kegelisahan hatinya selengkap-lengkapnya.

Sambil mendengar kata per kata yang putriku ucapkan, kurasakan hatiku mampu menyimak dan memahaminya dengan sepenuh perhatian. Tanpa sadar, pipiku menghangat karena air mataku mengalir, dan… hatiku juga terasa hangat. Ada sebuah keharuan yang membahagiakan bagiku sebagai seorang ibu. Ah, Tuhan begitu nyata! Ternyata, pada malam kedua Dara mengalami demam tinggi, terjadi saat kritis ketika Tuhan berurusan dengan hatinya secara pribadi. Tuhan mengingatkan Dara akan semua dosa yang dia simpan dan tidak pernah diceritakannya kepada Yosef maupun aku. Tuhan mengizinkan Dara takut demi dia bangkit kembali dan berani mengaku kepada kami, lalu menerima pertolongan untuk langkah-langkahnya selanjutnya. Bagiku sendiri, Tuhan juga bekerja luar biasa. Tak sebersit pun aku merasa dibohongi mendengar pengakuan Dara itu. Justru, di hatiku muncul rasa mengerti bahwa seorang anak perempuan di masa akil balik tentu mengalami perjalanan melewati banyak hal yang tidak dimengerti. Aku tahu, aku pun pernah menjadi remaja dan aku paham semua gejolak yang sedang berkecamuk di hati dan pikiran putriku. Hal yang paling membahagiakanku sebagai seorang ibu saat itu adalah rasa takut kehilangan yang begitu kuat disadari oleh Dara itu adalah rasa takut yang sangat tepat: takut kehilangan Tuhan, takut tidak sempat atau tidak bisa kembali lagi bersama Tuhan. Ah… Dara menyadari bahwa Tuhan adalah yang paling berharga bagi dirinya, mengatasi segala hal lain di dalam hidupnya! Mestinya inilah rasa yang paling nyata yang dialami setiap orang yang sudah lahir baru saat sadar untuk bangkit kembali dan melangkah ke arah jati dirinya yang baru. Dari perasaan Dara yang dicurahkannya itu, aku justru tahu pasti bahwa Tuhan sangat mengasihi putriku itu, dan dia pun sudah tumbuh menjadi perempuan muda yang mengasihi Tuhan melebihi segalanya…

Setelah pembicaraan dari hati ke hati berdua itu selesai, aku bertanya apakah Dara siap untuk berbicara bertiga dengan papanya. Dia menyatakan dirinya siap. Sambil kutemani, dengan hati dan suara yang lebih tenang, Dara menceritakan ulang semuanya kepada Yosef. Yosef menyimak cerita Dara dengan serius dan menanggapinya dengan pelukan hangat seorang ayah untuk putri tercintanya. Dara kembali terisak dalam pelukan papanya, dan melihatnya aku baru paham isi hati yang dirasakan bapa dari anak bungsunya yang sempat terhilang saat anak itu kembali ke rumah. Meski si anak sempat berlaku kurang ajar, meminta hak atas warisannya lebih awal, pergi jauh dan berfoya-foya, lalu jatuh miskin, anak itu diterima saat menyadari kejatuhannya dan memutuskan untuk kembali. Dara, putriku, mengalami titik balik dalam hidupnya seperti anak bungsu itu, dan kami merasakan keindahan yang istimewa sebagai orang tuanya.

Akhirnya, kami bertiga berdoa bersama sebagai keluarga, dengan rasa hati yang sama: betapa cara Tuhan itu begitu ajaib. Lewat peristiwa tertular Covid-19, menderita dalam kesakitan, dan harus isolasi mandiri berhari-hari, kami bertiga mendapat peneguhan bahwa Tuhan punya agenda khusus. Pertobatan Dara adalah yang utama, tetapi demikian juga keterbukaan dan komunikasi hati di antara kami bertiga. Seluruh pengalaman itu menjadi begitu indah dan berharga. Begitu berharganya maksud dan kehendak Tuhan yang kami temukan bersama itu kami sadari, termasuk dalam hal penundaan perayaan sweet seventeen Dara. Bagaimana Dara dengan rela hati bersedia untuk mengatur ulang rencana perayaan ulang tahunnya ke-17 setelah selesai isolasi mandiri menjadi bukti bahwa agenda Tuhan jauh lebih berharga daripada rencana manusia. Hari ini, saat perayaan ulang tahun Dara yang ke-17 akhirnya diadakan, bukan saja Dara berbagi kebahagiaan dengan teman-teman terdekatnya, tetapi kami sekeluarga juga meresapi pengucapan syukur atas Tuhan yang hidup dan bergerak di tengah-tengah keluarga kami. Sweet seventeen Dara bukan hanya sweet, tetapi juga unforgettable, karena Tuhan mendewasakan kami masing-masing dan bersama dengan cara-Nya yang begitu indah.

Lamunanku buyar seketika ketika Yosef memanggil sambil menepuk bahuku, “Yanti, yuk kita ke sana, kita diajak foto bareng tuh sama teman-temannya Dara…” Jadilah kami menyatu dalam keriangan anak-anak muda itu dalam berbagai pose lucu dan kekinian. Sinar sukacita di wajah Dara terlihat jelas. Menangkapnya, terbisik doa singkat di hatiku, “Tuhan, aku bersyukur untuk pembelajaran indah yang Engkau berikan untuk Dara, untuk pernikahanku, dan juga untuk keluarga ini. Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu!”

 

Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu.

Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu!

1 Korintus 14:20

 

Pertanyaan refleksi:

  1. Saat terjadi hal yang tidak enak di dalam hidupmu, apakah engkau menemukan maksud dan kehendak Tuhan di dalam hal itu?
  2. Ambillah waktu pribadi untuk merenungkan apakah engkau masih mengalami pertumbuhan dalam pengenalanmu pribadi akan Tuhan. Temukan jawabannya bersama Tuhan. Jika ya, mengapa kamu tetap mengalaminya, dan jika tidak, mengapa kamu tidak lagi mengalaminya?
  3. Temukan penghalang utama yang menghambatmu bertumbuh mengenal Tuhan secara pribadi.
  4. Mulailah tanamkan cara pikir yang baru, bahwa Tuhan pasti mengerjakan hal baik lewat setiap peristiwa yang terjadi, bahwa bagian kita adalah menemukan maksud dan kehendak-Nya, dan menemukannya itu adalah kekuatan dan sukacita kita!
2022-09-27T10:21:30+07:00