Sesaat Laras memandang nanar lembaran halaman coloring book-nya; tidak biasanya kali ini dia perlu berpikir keras untuk memilih warna ketika mewarnai gambar-gambar di dalam coloring book yang menjadi “buku doa” pribadinya itu. Tatapan nanar-nya berhenti sejenak saat kesadaran itu datang, “Hmm… Selama ini aku nggak pernah pakai pensil warna hitam untuk mewarnai… Menarik sekali! Kenapa yah kesadaran ini baru datang sekarang, setelah sekian lama aku mengerjakan coloring book ini…”
Coloring book itu sebetulnya merupakan hadiah yang diberikan Laras untuk dirinya sendiri saat mendapat kesempatan berkunjung ke sebuah toko buku Kristen di negara singa, Singapura. Bentuknya sederhana, ukurannya nyaman dipegang, dan di dalamnya ada ayat-ayat Alkitab yang menyertai gambar-gambar pada setiap halaman. Ada begitu banyak macam coloring book dijual di toko-toko buku; Laras selalu menyukainya tetapi sebelumnya tidak ada satu pun yang terasa sreg untuk dibeli, kecuali yang satu ini. Alhasil, menemukannya serasa mendapatkan harta karun. Bahkan, selama belasan bulan semasa pandemi, Laras telah menjadikan aktivitas mewarnai gambar-gambar di coloring book ini sebagai waktu doanya yang indah. Coloring book menjadi salah satu “alat bantu” untuk berdoa dengan cara yang berbeda dan Laras menemukan keindahan tersendiri lewat hal ini. Tidak jarang, Tuhan berbicara saat dia mewarnai mengikuti pola dan bentuk-bentuk gambar yang ada.
Malam ini, selain disertai ayat Alkitab dari Ayub 10:12 (“You have granted me life and favour, and Your care has preserved my spirit” – NKJV), gambar di halaman ini juga memuat kata “Grace” (“anugerah”, “kasih karunia”). Kata ini amat menarik minat Laras untuk mulai merenungkan maknanya. Sambil terus mewarnai, Laras menikmati perenungan Firman-nya dan menerima peneguhan yang kuat di tengah-tengah situasi sulit dan tak menentu yang sedang melanda dunia akibat pandemi.
Itu tadi. Sekarang, kembali mata Laras menatap nanar dan pikirannya tercenung cukup lama saat harus mewarnai bagian mata dari gambar seekor kupu-kupu pada gambar. Dia berhenti sebentar saat harus menentukan pilihan warnanya. Satu warna tiba-tiba melintas di benak Laras: hitam. Namun, beberapa detik kemudian dia tersadar sendiri bahwa warna itu hampir tak pernah dipakainya selama ini. Pensil warna hitamnya masih panjang, hampir tidak pernah terkena rautan pensil … karena tidak pernah dipakai.
“Hmm… Kenapa ya aku selama ini menghindari warna hitam?” batin Laras sambil tangannya berhenti mewarnai. Memang warna hitam bukan termasuk warna-warna yang disukainya, tetapi rasanya ada hal yang lebih menarik untuk direnungkan dengan kata “hitam” ini.
Laras terus merenung sambil mengamati hasil mewarnainya. Pelan-pelan, dia menyadari sebuah suara lembut berbicara di hatinya, “Ada titik hitam di hidupmu yang coba kamu sangkali…” Benar. Batinnya terdiam dalam kesadaran yang cukup mengagetkan ini. Laras pun mengambil waktu sejenak untuk tenang dan mencerna kesadaran yang muncul di hatinya. Sejurus kemudian, seolah batinnya menanggapi suara tadi, dengan lirih dia berkata di dalam hati, “Betul, Tuhan… Ada titik hitam itu di hidupku, pernah ada… Aku nggak suka titik hitam itu ada di sana…”
Detik-detik dan menit-menit selanjutnya menjadi waktu kontemplasi dengan dirinya, batinnya, dan Tuhan sendiri. “Tuhan, tolong aku untuk bisa menghadapi dan melewati titik hitam ini…” doa dan jeritan hati Laras, yang lahir dari sebuah kejujuran jauh dari dalam hatinya. Rasanya tak terlukiskan dengan warna apa pun. Ucapan doa itu sungguh tulus dan murni, yang terjalin dengan rasa bersalah, kotor dan terbuang, serta tidak layak, yang juga tidak bisa tepat diungkapkan dengan kata-kata. Saat itulah, kata “Grace” yang sempat menarik perhatiannya dari halaman coloring book itu muncul lagi di hatinya. “Di manakah kemurahan Allah atas hidupku yang kotor ini?” hatinya menjerit. Dalam hitungan detik, muncullah sebuah ayat yang sangat dikenal, bahkan sudah dihafal Laras sejak masa Sekolah Minggu di gereja, “Yohanes 3:16: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Suara lembut itu berbicara lagi di hati Laras, “AKU mengasihimu, Laras…” Itu suara Tuhan!
Seperti air sejuk membasahi setiap relung hatinya, ucapan Tuhan itu membuat Laras terdiam dalam kesejukan dan damai yang luar biasa. Sebuah rasa merdeka yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya kini memenuhi hatinya. Kasih Allah membanjiri sudut-sudut terdalam di hatinya yang kering dan kosong selama ini. Sukacitanya sungguh tak terkatakan. “Terima kasih Tuhan, untuk kasih-Mu…” ucap Laras perlahan sambil melepas kaca matanya yang sudah basah berembun karena air matanya tanpa sadar telah mengalir terus-menerus.
Setelah pengalaman itu berlalu, sebuah pengertian pun terbentuk di hati Laras. Titik hitam itu rupanya telah menjadi titik balik baginya untuk bangkit dan melanjutkan hidup dengan kesadaran penuh bahwa kehidupannya semata-mata adalah anugerah Tuhan dan bersumber dari kasih-Nya. Tanpa kasih Tuhan, titik hitam itu hanyalah sebuah titik hitam yang disesali, disembunyikan, dan tak mungkin ditaklukkan. Namun karena kasih-Nya, titik hitam itu menjadi titik balik yang membawa kehidupan! Sungguh kasih Allah itu indah dan tersedia setiap saat. Kasih itu bisa dirasakan dan dirayakan setiap hari, bukan hanya pada momen-momen khusus atau perayaan tertentu tetapi senantiasa dan setiap saat, karena seluruh kehidupannya adalah semata karena kemurahan kasih-Nya.
Menit demi menit terus berjalan. Kembali Laras memandangi halaman coloring book-nya dan pensil-pensil warnanya. Kali ini, dengan mantap diambilnya pensil warna hitam dan dia mulai mewarnai bagian mata dan sungut dari gambar si kupu-kupu. Bibirnya tersenyum membingkai sukacita yang membanjiri hatinya, karena dia sudah berdamai dengan warna hitam dan titik hitam yang pernah ada dalam hidupnya. Tak terasa jam sudah menunjukkan hampir tengah malam dan seluruh gambar di halaman itu selesai diwarnai. Laras menutup aktivitas indahnya malam itu dengan senyum yang terukir di hatinya, lalu pergi tidur dalam kedamaian yang berbeda dari yang sudah-sudah.
(sebuah cerita fiksi)
Pertanyaan refleksi:
- Kapan terakhir engkau mendengar suara Tuhan?
- Bagaimana selama ini engkau merasakan dan mengalami kasih-Nya sehari-hari?
- Adakah titik hitam tertentu di hidupmu? Jika ada, akuilah titik hitam itu dan bawalah kepada Tuhan. Alami bagaimana kebenaran-Nya memerdekakan dirimu, lalu oleh kasih-Nya yang selalu tersedia melimpah bagimu, pastikan titik hitam itu menjadi titik balik dalam hidupmu!