Hari itu saya mengalah. Semua yang ikut, kecuali saya, ingin menonton film yang saya sudah tonton. Akibat kalah suara, saya pun ikut saja, lagipula sejak saya semakin sibuk dengan pekerjaan, pergi bersama teman-teman di akhir pekan juga menjadi momen yang langka. Menonton film yang sama untuk kedua kalinya tak apalah. Justru, hal ini jika dilakukan bersama orang-orang yang belum pernah menontonnya ternyata memberikan pengalaman unik. Bagi saya, reaksi orang lain lebih menarik daripada jalan cerita di dalam film. Mereka menunjukkan ekspresi khawatir ketika sang jagoan di film mendapatkan masalah yang berat atau bahkan terpukul kalah, sedangkan saya tidak khawatir. Mereka sedih ketika ada yang tokoh yang meninggal, sedangkan saya tidak. Mereka kaget ketika alur cerita berjalan tanpa diduga, sedangkan saya biasa saja. Saya tahu apa yang akan terjadi, tidak ada lagi yang mengejutkan. Saat mereka panik luar biasa karena sang tokoh protagonis babak belur, saya ingin sekali menghampiri mereka satu per satu dan berkata menghibur, “Tenang saja, habis ini ada jagoannya datang menolong, kok…” Tentu saja saya tidak bermaksud membocorkan jalan cerita; saya hanya ingin mereka tidak perlu panik saja. ‘Kan saya lebih tahu daripada mereka.
Ada peristiwa di Alkitab yang mirip dengan situasi yang saya alami di atas. Saat itu, Lazarus meninggal. Yesus tahu apa yang akan terjadi, dan demikian pula Dia tahu Lazarus dapat Dia bangkitkan. Namun, ketika melihat Maria tersungkur menangis, Yesus tidak tersenyum dan berkata menghibur, “Tenang saja, habis ini Lazarus bangkit, kok…” Yesus justru ikut menangis. Dia ikut merasakan pilunya hati Maria, Marta, dan para pelayat yang datang.
Yesus sudah tahu jalan cerita Lazarus, bahkan jalan cerita segala sesuatu, termasuk rangkaian kejadian penangkapan sampai penyaliban-Nya sampai kebangkitan-Nya. Dia tahu Yudas akan mengkhianati Dia, Petrus akan menyangkal diri-Nya, dan Tomas akan sempat tak percaya bahwa Dia bangkit. Yesus bahkan sudah tahu ujung dari seluruh cerita yang ada di dunia. Tidak ada hal yang mengagetkan Yesus. Bagi Yesus, tidak ada plot twist, karena memang tidak ada yang tersembunyi bagi dia (Ibr. 4:13). Namun rupanya, Yesus tidak seperti saya.
Dalam berbagai peristiwa dan kesempatan, jelas bahwa Yesus menunjukkan empati yang mendalam, berbeda dengan saya. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya lebih tahu daripada teman-teman saya. Yesus tidak punya kepentingan untuk dianggap tahu. Lagipula, Yesus juga tidak seperti seorang ayah yang keras, yang mengajari anak lelakinya untuk kuat dan tidak boleh menangis sebagai lelaki. Yesus tak peduli dengan urusan terlihat lemah. Yesus menunjukkan airmata-Nya. Yesus pun tidak seperti teman yang berkata sok tahu, “Sudah, tidak usah dipikirkan. Semuanya akan baik-baik saja.” Yesus justru berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Salib menggambarkan penderitaan, dan perkataan Yesus ini artinya mengikuti Yesus tidak akan lepas dari penderitaan. Secara lebih eksplisit, Yesus bahkan berkata, “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu,” (Yoh. 15:20). Tidak ada pemanis dan jebakan marketing yang menampilkan daftar panjang keuntungan atau manfaat bombastis bagi mereka yang mengikut Yesus. Yesus berterus terang tentang konsekuensi mengikuti diri-Nya. Demikian pula terhadap kepada Maria dan Marta, Yesus tidak mengeluarkan pernyataan toxic positivity untuk menghibur mereka dalam kedukaan karena kematian Lazarus.
Kita mungkin asing mendengar istilah toxic positivity, tetapi kita bisa jadi pernah menerimanya dalam berbagai bentuk. Yesus juga pernah menerimanya, yaitu dari salah satu murid terdekatnya, Petrus. Dalam Matius 16:21-23 tercatat peristiwanya. Ketika Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia akan dibunuh, Petrus menarik Yesus ke samping dan berkata, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Wah… Bukankah perkataan Petrus enak didengar dan menenangkan hati? Seandainya kita sedang khawatir tentang suatu kemungkinan buruk di masa depan, lalu seorang kawan menghampiri kita dengan perkataannya tersebut, kemungkinan besar kita akan mengangguk setuju dan berkata tegas, “Amin!” Namun, perhatikan baik-baik reaksi Yesus. Dia justru menegur Petrus dengan keras dan mengusir iblis, yang rupanya menginspirasi perkataan Petrus itu. Walaupun pernyataan Petrus sangat positif, tetapi itu bukanlah kebenaran, bahkan cenderung menyesatkan. Yesus dibunuh ialah bagian dari rencana Allah; tidak mungkin Allah menjauhkan hal itu dari Yesus. Itulah toxic positivity; sikap atau ucapan yang terdengar positif, terkesan baik dan nyaman didengar, tetapi bukan kebenaran dan justru “beracun” jika diikuti.
“Bersyukur sajalah. Walau dengan masalah kamu sekarang, kamu masih beruntung. Banyak lho orang yang lebih menderita dari kamu…” Pernyataan semacam ini populer dipakai untuk menghibur orang, apalagi di masa sulit dan tidak nyaman seperti sekarang. Kata-katanya terlihat positif, tetapi isinya bukanlah kebenaran. Lalu, apa kebenarannya? Dalam hal kekhawatiran dan bersyukur, Yesus meminta kita melihat burung-burung di langit yang dipelihara Bapa dan bunga bakung yang diberi keindahan oleh Bapa (Mat. 6:25-34). Untuk dapat bersyukur dan tidak khawatir, Yesus mengajar kita untuk percaya kepada Bapa di surga, bukan dengan membandingkan hidup kita dengan orang lain yang terlihat lebih sengsara. Ajaran Yesus memberikan contoh dari burung-burung dan bunga-bunga liar, bukan para pengidap kusta, pengemis di pinggir jalan, atau orang-orang sakit di pinggir kolam Betesda. Bapa adalah Allah yang setia bagi semua makhluk milik-Nya, dan Dia selalu menepati janji-Nya. Inilah yang Yesus berikan kepada kita: kebenaran bahwa percaya kepada Bapa, kehidupan yang berpegang kepada Bapa, membawa kita ke dalam kehidupan yang tidak terguncangkan. Kalau kita bahagia atau tenang karena melihat hidup kita lebih baik dari orang lain, hal tersebut tidak akan bertahan lama, karena standar dunia dapat berubah dengan cepat. Lagipula, kesengsaraan tidak dapat dibanding-bandingkan; semuanya pasti terasa berat bagi orang yang tengah mengalaminya.
Toxic positivity memaksakan sebuah perspektif yang secara umum dianggap baik, tetapi belum tentu benar, bukan mencari sumber permasalahan dan menyelesaikannya seperti kebenaran yang Yesus ajarkan. Akibatnya, toxic positivity membuat kita merasa bersalah saat menunjukan emosi yang jujur, karena kita “harus” selalu bersikap positif dalam segala situasi dan kondisi. Padahal, Tuhan sesungguhnya sangat menyukai penyembahan yang otentik daripada penyembahan yang penuh kepura-puraan (Yes. 29:13-14). Ini pun terlihat dari kitab Mazmur, yang berisi berbagai ekspresi pujian dan penyembahan si pemazmur dengan emosi yang jujur kepada Tuhan. Beberapa mazmur bahkan dimulai dengan pemazmur mencurahkan rasa kesalnya, protesnya, kesedihannya, atau ratapannya, tetapi tetap ditutup dengan pujian dan penggakuan kepada Tuhan. Sebaliknya, toxic positivity memaksa kita untuk memendam ekspresi kita dalam-dalam; emosi sedih atau takut kita dianggap tidak valid karena “kondisi kita tidak separah orang lain”, atau “nanti juga semuanya akan membaik”, atau “orang beriman harus bersukacita dan bersyukur senantiasa”.
Tangisan Yesus di hadapan Maria, Marta, dan para pelayat saat Lazarus meninggal ialah ekspresi emosi yang jujur dan otentik. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang ada di dalam hati Yesus sehingga Dia menangis, dan memang yang pasti Dia menangis bukan karena tidak percaya kepada Bapa atau tidak bisa melihat maksud di balik meninggalnya Lazarus. Namun, Yesus mengizinkan diri-Nya turut merasakan, bahkan berbagi, emosi sedih dan pilu yang tengah dirasakan oleh Maria, Marta, dan para pelayat itu. Yesus tidak datang dan berkata kepada orang-orang, “Bersyukurlah, masih ada orang yang sudah kehilangan lebih banyak anggota keluarga,” atau “Tenang saja, Aku sudah datang,” atau “Kalian sebagai orang beriman seharusnya tidak berputus asa seperti ini.”
Bila kita ingin membantu seseorang untuk keluar dari lubang kesedihan mereka, daripada kita berteriak dari atas, “Tidak usah sedih, masih banyak orang yang terjatuh di lubang yang lebih dalam,” lebih baik kita mengikuti cara Yesus. Dia hadir masuk ke dalam lubang yang gelap itu, ikut merasakan dan berbagi kesedihan, serta tidak segan untuk menangis bersama mereka. Kemudian, Dia membawa mereka keluar dari lubang tersebut, menopang mereka untuk naik bersama-sama dengan diri-Nya kepada terang harapan dan sukacita yang baru.
Bukankah kita yang diberi kehidupan yang tak terguncangkan ini sudah sepatutnya mengajak mereka yang tengah terguncang untuk masuk ke dalamnya pula?
(Stefy Falentino)