///Untuk itulah kita hidup

Untuk itulah kita hidup

Bagi seseorang yang meninggalkan warisan, kematian tidak pernah menjadi suatu akhir. Itu hanyalah sebuah awal. Beberapa tahun silam, Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris, merancang pemakamannya sendiri sebelum ia meninggal. Ia memang begitu mempercayai bahwa akhir hidupnya akan menandai awal dari masa depan yang gemilang dan harum.

Churchill meninggal pada tanggal 24 Januari 1965, dan seluruh Inggris berduka karenanya. Pemakamannya diselenggarakan di Gereja Saint Paul’s Cathedral di pusat kota London, di tempat dua puluh tahun sebelumnya pesawat-pesawat Nazi menjatuhkan bom dan mengancam kelangsungan hidup bangsa Inggris. Namun kemudian, melalui kepemimpinan Churchill yang luar biasa, dunia diselamatkan dan gereja bersejarah ini menjadi tempat berkumpul pemimpin-pemimpin terbesar di dunia saat itu yang datang untuk memberi penghormatan bagi Sang Singa terakhir dari Inggris. Raja dan ratu, pangeran dan perdana menteri, presiden dan orang terkemuka dari 110 negara menghadiri upacara itu, termasuk Presiden Dwight D. Eisenhower, Presiden Prancis Charles de Gaulle, Hakim Agung Earl Warren, Ratu Elizabeth II, dan Duke of Edinburgh. Semua penduduk Inggris menyaksikan upacara itu lewat tayangan televisi BBC.

Semua yang hadir mengenang kembali kebesaran pria yang berani ini. Setelah memimpin Inggris melalui masa-masa tersuram dalam sejarah panjangnya, ucapan-ucapannya sarat dengan visi dan iman ketika ia menyampaikan ilham kepada bangsa Inggris untuk bangkit dan melawan tirani Nazi. Kemauan keras dari pria ini mengilhami semua warga Inggris untuk memperoleh kemenangan dalam “masa-masa terbaiknya”.

Tetapi, mantan perdana menteri Inggris itu kini sudah tiada.

Di akhir pemakamannya, atas permintaan Churchill sendiri, seorang peniup terompet berdiri di bagian ujung kubah Gereja Saint Paul’s Cathedral. Begitu doa syukur diucapkan, seorang peniup terompet mengumandangkan nada-nada “Taps” yang menyentuh hati – sebuah tanda universal yang mengatakan bahwa satu hari sudah berakhir. Tetapi Churchill tidak mau diakhiri hanya dengan sebuah tiupan terompet itu saja. Seorang peniup terompet lainnya diminta berdiri di sisi lain dari kubah yang sama. Namun, peniup terompet ini memainkan serangkaian nada-nada, dan ini sangat berbeda dari yang pertama, “Reveille” – sebuah sinyal universal bahwa hari yang baru sudah tiba. Akhir dan awal yang baru. Kematian dan kebangkitan.

Jika Anda meninggalkan sebuah warisan, sebenarnya semuanya belum berakhir. Pesan itulah yang ingin Churchill kumandangkan pada hari pemakamannya. Akhir hidupnya hanyalah awal dari hari esok yang cemerlang bagi negaranya yang tercinta. Warisannya akan terus hidup. Nada-nada akhir hidupnya bukan memberi tanda “Taps”, melainkan “Reveille”. Sekalipun Churchill sudah tiada, bangsa Inggris memiliki kemerdekaan dan sebuah pengharapan besar untuk menghadapi masa depan. Ia mewariskan hidupnya daam bentuk kebulatan tekad dan kekuatan bagi orang-orang senegerinya. Churchill sudah pergi. Namun, hidupnya tetap ada. Mereka menamakannya upacara pemakaman. Namun, sebenarnya itu adalah suatu perayaan kemenangan.

Begitulah seharusnya sikap kita masing-masing agar hidup kita mempunyai akhir yang benar. Bukan dengan kemegahan dan perayaan seperti pemakaman Churchill, melainkan dengan keyakinan serupa bahwa kita sudah meninggalkan warisan yang tepat bagi generasi penerus kita. Kematian bukanlah akhir dari kehidupan kita, melainkan menjadi awal yang baru. Karena, ketika kita meninggalkan warisan rohani kepada anak-anak kita, pengaruh kita berlanjut selamanya sekalipun kita sudah meninggalkan dunia ini.

Para orang tua, khususnya ayah, yang pergi tanpa meninggalkan warisan berupa nilai-nilai dasar rohani bagi anak-anak yang dikasihinya, pemakamannya memberi tanda “Taps” – harinya sudah berakhir. Namun sebaliknya, orang tua yang meninggalkan warisan rohani berupa kebajikan-kebajikan ilahi, akhir hidupnya memberi tanda “Reveille” – hidupnya tetap berlanjut.

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus merancang urutan upacara pemakaman kita. Tetapi, kita harus menetapkan apa yang kita inginkan untuk memberikan pengaruh abadi bagi anak-anak kita. Kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, warisan apa yang ingin Anda tinggalkan bagi keluarga Anda, setelah Anda meninggalkan dunia ini? Apa yang akan menjadi peninggalan Anda yang terakhir yang akan dimiliki oleh anak-anak Anda sekalipun Anda kelak meninggalkan dunia ini?

Seandainya Kristus belum juga datang kembali, kita semua pasti akan mengalami hari kematian masing-masing. Karena kepergian kita tidak bisa diduga, sejak sekarang kita harus merancang nilai-nilai yang kita ingin tanamkan ke dalam hati anak-anak kita, melalui pengaruh yang masih bisa kita berikan sepanjang hidup kita. Bentuk warisan yang kita ingin tinggalkan akan menentukan berbagai keputusan kita hari ini. Ketika Anda tiba pada akhir hidup nanti, apa yang Anda rindu untuk dengar keluar dari mulut anak-anak Anda, agar hati Anda lega dan rela pergi karena telah berhasil berperan sebagai orang tua?

Warisan rohani adalah nilai-nilai dasar rohani yang mendasari pertumbuhan iman kita di dalam Yesus Krisus. Inilah warisan paling berharga yang bisa ditinggalkan orang tua kepada anaknya. Apakah kehidupan sehari-hari kita dengan anak-anak telah membuat mereka tertarik dan terinspirasi untuk menerima nilai-nilai rohani tersebut menjadi sesuatu yang berharga di dalam hidup? Iman setiap orang tua harus diproduksi kembali di dalam kehidupan anak-anaknya. Semua orang tua harus meninggalkan warisan iman bagi anak-anaknya, warisan iman yang suatu saat nanti akan menjadi milik mereka selamanya.

Untuk itulah kita hidup. Untuk itulah kita harus berjuang keras.

Dicuplik dari bab 14 buku Warisan Abadi, karya Steven J. Lawson, terbitan Metanoia

2019-10-17T13:55:15+07:00