Berbagai artikel dalam majalah bulanan terbitan gereja kita edisi ini mungkin akan meneguhkan sebagian besar dari kita tentang posisi kita di tengah-tengah orang yang belum mengenal Kristus di lingkunngan kita masing-masing. Yesus melatih murid-murid-Nya untuk menjadi penjala manusia, dan mereka benar-benar melakukannya. Turun-temurun melintasi generasi dan batas-batas geografis di sepanjang sejarah, kita pun menjadi pengikut Kristus sebagai salah satu buah turunan dari ketaatan murid-murid Yesus menjadi penjala manusia. Bahkan, kita pun tahu bahwa kita telah diutus sebagai penjala manusia pula kepada orang-orang di sekitar kita yang belum mengenal Yesus.
Pertanyaannya, dengan pengutusan yang sudah dan sedang terjadi itu, apakah kita siap sebagai utusan Kristus?
Beberapa minggu lalu saat bersaat teduh, saya membaca tentang pengutusan seorang nabi yang namanya cukup terkenal: Yesaya. Peristiwa pengutusan itu membuat saya membandingkannya dengan pengutusan kita sekarang. Sama seperti Yesaya, kita diutus ke tengah-tengah orang-orang berdosa, yang secara rohani perlu dijadikan benar dan kudus dengan menerima penebusan Kristus. Kita saat ini berhadapan dengan orang-orang di sekitar kita yang belum mengenal Kristus dengan reaksi mereka masing-masing, tetapi kita pun menerima janji Tuhan bahwa pada akhir zaman ini banyak dan makin banyak orang dari segala latar belakang akan datang kepada-Nya dan menjadi percaya. Situasinya berbeda bagi Yesaya saat itu. Dalam Yesaya pasal 6 ayat 9-13, Tuhan justru menjanjikan “prospek yang buruk”. Tuhan berkata bahwa bangsa Yehuda, yaitu bangsa yang akan didatangi oleh Yesaya sebagai utusan Tuhan, memang dimaksudkan untuk tidak mau mengerti dan tidak mau tanggap terhadap pesan Tuhan yang Yesaya bawa. Bahkan, negeri Yehuda dikatakan akan menjadi sengsara, sunyi, dan ditinggalkan; binasa sampai hanya tersisa “tunggul” yang pendek saja. Ke dalam situasi yang penuh penolakan dan potensi suram seperti inilah Yesaya telah berkomitmen kepada Tuhan, “Utuslah aku.” Dia tidak mundur setelah menerima penjelasan Tuhan tentang situasi itu. Saya jadi merenung; apa yang membuat Yesaya begitu siap dan teguh dengan komitmennya sebagai utusan Tuhan?
Ayat-ayat sebelumnya dalam pasal yang sama (Yes. 6:1-8) menceritakan peristiwa yang mendahului komitmen Yesaya itu. Awalnya, Yesaya (melalui sebuah visi) melihat Tuhan. Dia lalu menyadari betapa mulianya Tuhan sekaligus betapa najisnya dirinya (karena dosa). Selanjutnya, Yesaya mengakui dosa dan kenajisannya itu, dan menerima suatu penyucian dari Tuhan. Dia dibersihkan dan dikuduskan dengan bara api di tangan malaikat Tuhan, sehingga dinyatakan dosanya telah diampuni dan kesalahannya telah dihapus. Setelah semua ini terjadi, Tuhan bertanya siapakah yang mau diutus bagi-Nya, dan barulah Yesaya menjawab, “Ini aku, utuslah aku.”
Rupanya, ada prasyarat bagi pengutusan kita. Bahkan, karena pengutusan kita sedang berlangsung setiap saat di dalam hidup kita sehari-hari, prasyarat itu pun perlu berlangsung setiap saat juga setiap hari. Perjumpaan dengan Tuhan adalah prasyarat pengutusan. Seperti Yesaya yang menyadari kemuliaan Tuhan dan menyadari keadaan dirinya, kita pun perlu setiap saat berjumpa dengan Tuhan. Kita perlu senantiasa melihat Tuhan; menyadari kemuliaan-Nya dan menyadari keadaan kita di hadapan-Nya.
Pembersihan dan penyucian pun adalah suatu prasyarat bagi pengutusan, yang juga perlu berlangsung setiap saat juga setiap hari. Pembersihan dan penyucian pasti tidak nyaman dan terasa sakit (bayangkan bara api yang ditempelkan di bibir!), tetapi ini wajib. Saat Tuhan menggunakan cara-Nya dan berbicara dengan Firman-Nya untuk membersihkan kita dari dosa, kesalahan, dan kebiasaan buruk, hati dan pikiran kita bisa saja ingin memberontak. Namun, tanpa pembersihan dan penyucian, kita akan terikut arus untuk terus larut dalam kebiasaan dosa, bukannya menjadi utusan Tuhan yang membawa orang-orang keluar dari kehidupan dosa.
Kembali ke pertanyaan di awal tadi, apakah Anda dan saya yakin bahwa kita masing-masing siap menjadi utusan Tuhan bagi dunia di sekitar kita? Siap diutus bukan hanya berkata bahwa kita siap karena program pengutusan yang sedang dikampanyekan gereja atau karena status kita sebagai orang Kristen. Siap diutus artinya siap berdiri di hadapan Tuhan terus-menerus. Siap diutus artinya siap disucikan senantiasa. Siap diutus artinya siap hidup di dalam komunitas kecil yang saling membersihkan, dalam rangka pengudusan.
Pengutusan sudah dan masih sedang berjalan bagi kita masing-masing. Yuk, periksa kondisi kita sendiri sebagai utusan Tuhan. Perhatikan keberadaan kita di lingkungan orang-orang yang belum percaya saat ini. Siapakah kita di lingkungan itu? Apakah kita jelas membawa nama Tuhan/menjadi perwakilan-Nya: pada diri kita tampak dan terasa jelas kasih Tuhan, kuasa Tuhan, kebenaran Tuhan? Atau, justru kita sama saja dengan lingkungan itu?
Kalau kita cenderung sama dengan mereka yang ada di lingkungan pengutusan kita, kesiapan kita perlu diprioritaskan lagi. Kembalilah hidup di hadapan Tuhan senantiasa dan di dalam komunitas kecil yang sepakat berkomitmen untuk selalu saling membersihkan. Hanya dengan cara inilah, Anda dan saya siap menjadi utusan Tuhan yang menjala manusia.