///Ayah-Ibuku, Bapak-Ibu Rohaniku

Ayah-Ibuku, Bapak-Ibu Rohaniku

Di lingkungan gereja, aku melihat banyak orang yang tampak baik-baik saja dan bahkan sangat rohani, hingga tak jarang aku kagum atau ingin meneladani mereka dalam berbagai hal. Sayang, ketika mengenal dan tahu kehidupan pribadi dan karakternya, aku jadi amat terkejut karena kondisi asli itu sangat jauh dari tampilan luar sehari-hari di gereja serta berbeda dari ekspektasiku.

Salah satu contohnya adalah Mira, gadis berusia 17 tahun, anak dari sepasang orang tua yang aktif melayani dan menjadi pemimpin di gereja lokal kami. Mira melayani di gereja tersebut sebagai pemain musik, sikapnya terlihat manis dan penurut, sedikit pemalu, dan tampilannya khas anak baik-baik. Semuanya tampak bagiku sangat ideal, sampai suatu saat aku dan suamiku mengetahui kondisi asli Mira melalui Anto.

Siapakah Anto? Anto yang kukenal adalah seorang pemuda usia awal dua puluhan yang juga melayani di komunitas pemuda gereja lokal kami, tetapi Anto yang datang kepada kami ini ternyata mengaku sebagai kekasih Mira dalam hubungan pacaran yang diam-diam. Anto bercerita kepada kami bahwa hubungannya dengan Mira backstreet, orang tua mereka tidak tahu apa-apa, teman-teman di gereja pun tidak tahu, tetapi kini Anto mulai merasa tertuduh karena mereka sudah terbiasa melakukan hubungan fisik yang semestinya dilakukan hanya oleh pasangan suami-istri. Ya Tuhan… bagaimana hal ini bisa terjadi?!?

Mira dan Anto bukanlah anakku sendiri, tetapi pengakuan mereka membuatku begitu terpukul. Apa yang diceritakan Anto tentang hubungannya dengan Mira menjadi refleksi kami sebagai orang tua, terutama soal bagaimana ayah dan ibu seorang anak bisa sama sekali tidak tau kehidupan anak mereka; seberapa sibukkah mereka bekerja atau melayani jemaat hingga anak mereka sendiri tidak dapat mereka jangkau?

Contoh berikutnya adalah seorang ibu muda yang memiliki dua orang anak yang masih kecil. Namanya Asih. Awalnya aku tidak begitu mengenal Asih. Kami beribadah di gereja lokal yang sama; aku tahu Asih cukup aktif membagikan video atau foto-foto dan aktivitas sehari-harinya di media sosial lewat statusnya yang sering terasa sejuk dengan kutipan kata-kata rohani atau ayat kitab suci.

Kekagetanku kali ini berawal dari tawaran sekaligus dorongan dari ibu rohaniku di gereja untuk aku memuridkan Asih karena memang sepertinya belum ada yang memuridkan. Ibu rohaniku meminta agar aku saja yang memuridkannya. Aku sempat bingung juga, bagaimana caranya agar Asih bisa dimuridkan olehku, sedangkan kami tidak pernah punya hubungan dekat sebelumnya. Akhirnya, memang Tuhan mempertemukan kami dalam satu kelompok pembinaan wanita. Wah, aku berpikir ini mungkin jalan Tuhan, maka kuambil kesempatan itu untuk memuridkannya.

Seiring berjalannya kebersamaan dalam kelompok pemuridan kami, lama kelamaan aku makin mengenal pribadi Asih. Rupanya, begitu banyak hal yang tidak terduga muncul ketika Asih berani terbuka. Asih adalah seorang wanita, seorang istri, dan seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, yang tidak pernah memasak; bahkan, hanya membuatkan sarapan atau menyiapkan bekal bagi suami dan anak-anaknya pun tidak. Yang dia katakan ketika aku bertanya mengapa, jawabannya adalah “malas”. Ternyata Asih bukan tak bisa atau tak mengerti caranya menyiapkan makanan, tetapi memang malas saja untuk bangun pagi-pagi. Di rumahnya, urusan masak memasak dan membereskan rumah dilakukan oleh suaminya. Beruntung sekali Asih memiliki suami seorang “pria sejati” yang tidak pernah menuntut istrinya! Namun, di sisi lain jelas sekali bahwa ketimpangan fungsi di rumah tangga mereka ini perlu dibereskan dengan Asih berfungsi sebagai istri dan ibu.

Sebagai ibu rohaninya, aku berusaha mengajarkannya dan memberi teladan untuk Asih. Hal-hal sederhana yang kucoba lakukan adalah membagikan resep-resep masakan yang mudah dan ringkas, membangunkan Asih melalui telepon pada pagi hari, dan mengingatkannya untuk mengerjakan tanggung jawab kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Makin lama dinamika ini berjalan, Asih pun makin terbiasa dan ringan melakukannya. Dia pun mengaku bahwa sejak masa kecilnya sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, orang tuanya sendiri tidak pernah mendidiknya sebagai pemegang tanggung jawab apa pun di rumah. Dia terlalu dimanja dan kesukaannya cenderung selalu dituruti. Terjawablah keherananku soal mengapa kebiasaan pribadi Asih sehari-hari tidak sesuai dengan status atau publikasi yang dia sering bagikan di media sosial; Asih adalah anak perempuan yang terlalu dimanjakan dan tak pernah menerima disiplin atau teguran, hingga bertumbuh menjadi seorang wanita yang tidak pernah bertumbuh dewasa.

Kedua contoh tentang Mira dan Asih menyadarkanku tentang betapa pentingnya keteladanan dan warisan rohani yang diberikan oleh orang tua. Orang tua kita sendiri adalah bapak dan ibu rohani pertama bagi anak-anaknya, yang bertanggung jawab sebagai otoritas moral dan memberi teladan kepada mereka.

Di dalam Alkitab, ada contoh yang bagiku sangat jelas menggambarkan bagaimana hasilnya jika fungsi orang tua sebagai bapak-ibu rohani ini berjalan dengan baik: Timotius. Dia menerima warisan iman dari orang tuanya dan bertumbuh dewasa dengan iman itu. Paulus, bapak rohaninya dalam pelayanan, menyatakan, “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu,” (2 Tim. 1:5).

 

Iman Timotius diturunkan dari neneknya, Lois, ke ibunya, Eunike. Selanjutnya, warisan iman itu turun kepada Timotius. Kemudian di masa mudanya, dia dididik dan diajar oleh Rasul Paulus sebagai bapak rohaninya, dalam proses pemuridan yang makin mengokuhkan imannya. Paulus pun berpesan agar Timotius tetap berpegang pada iman itu, “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus.Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita,” (2 Tim. 1:13-14). Iman Timotius yang diwariskan oleh orang tua jasmaninya makin diteguhkan oleh ajaran sehat dan teladan Paulus, sebab Paulus tetap berfungsi sebagai bapak rohani. Paulus menyiapkan Timotius dan generasinya dalam pekerjaan Tuhan yang Tuhan percayakan serta meninggalkan teladan iman kepada Timotius anak rohaninya, khususnya soal bagaimana dia berproses dengan Tuhan dan bagaimana Roh Kudus bekerja di dalam dirinya.

 

Bagaimana dengan kita sendiri sebagai orang tua? Sudahkah kita sadar bahwa kita dipercaya Tuhan dengan fungsi sebagai bapak-ibu rohani bagi anak-anak kita? Demikian juga halnya dengan kita yang tidak memiliki anak jasmani; sadarkah kita bahwa kita harus berfungsi sebagai orang tua rohani bagi anak-anak rohani yang Tuhan percayakan di dalam hidup kita? Kitalah yang ditempatkan Tuhan di dalam kehidupan anak-anak kita untuk mewariskan iman bagi mereka. Rumah, keluarga, dan komunitas kita bukanlah hanya tempat makan dan tidur atau berkegiatan bersama bagi anak-anak. Harus ada nilai-nilai, norma, pengajaran, dan prinsip Firman Tuhan yang mereka dapatkan di dalam rumah dan komunitas kita. Orang tua jasmani dan rohani yang lebih sibuk dengan pekerjaan atau kehidupannya sendiri, termasuk pelayanan di lingkungan gereja, tanpa sadar akan mengorbankan kehidupan iman anak-anak mereka. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktikkannya, dan komunitas seiman harus melanjutkan kehidupan berdasarkan iman ini. Orang tua bukan sekadar mengajarkan peraturan agama dengan kata-kata atau teori, melainkan punya fungsi yang jauh lebih penting: memberi teladan hidup dari dirinya sendiri dalam setiap aspek kehidupan. Saat menghadapi masalah, ketika mendapat berkat, ketika melihat orang lain kesusahan, ketika integritas diuji, dan ketika didera badai emosi, semuanya ini harus menjadi contoh langsung dari orang tua bagi anak tentang bagaimana iman bekerja dan bagaimana mempraktikkan hidup yang menurut Firman Tuhan. Selain itu, kita pulalah yang mengajarkan lewat teladan untuk hidup di dalam komunitas seiman di gereja lokal. Orang tua perlu mencontohkan gaya hidup keluarga rohani yang sehat bersama figur-figur bapak-ibu atau kakak rohani di komunitas seiman, dengan teladan hati anak yang tunduk dan taat kepada Tuhan melalui pimpinan yang diterima. Dengan proses teladan dan pewarisan iman yang demikanlah anak melihat dan belajar bagaimana iman harus dipraktikkan dalam sepanjang umur hidupnya kelak.

Mari lihat kembali kehidupan kita. Sudahkah kita masing-masing berfungsi sebagai orang tua rohani kepada anak-anak kita, baik yang jasmani maupun yang rohani? Jika belum, bersediakah kita untuk mulai melakukannya sekarang?

 

Refleksi Pribadi:

  1. Bagaimana orang tuamu mendidikmu sejak engkau kecil? Teladan apa saja yang engkau dapatkan dari kehidupan bersama mereka?
  2. Apakah engkau memiliki bapak/ibu rohani? Bagaimana hubunganmu dengannya?
  3. Apa yang menjadi tantangan atau kendala dalam pertumbuhan rohanimu sendiri saat ini?
  4. Mulailah lakukan tindakan aktif untuk membangun kembali hubungan dengan bapak/ibu rohanimu. Tempatkan dirimu sebagai anak yang rela tunduk dan taat kepada Tuhan melalui pimpinan mereka atasmu.
2022-11-25T09:55:43+07:00