Mata Wening nanar terpaku di lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya. Lamat-lamat tulisan nya jadi kabur dan tak terasa air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Judul besar itu ikut jadi kabur walaupun tetap terbaca: “SURAT WASIAT”; semua dalam huruf kapital dan tebal. Pandangannya terus turun ke bawah ke bagian akhir surat itu, dilembar ketiga,yang tertulis tanggal surat itu dibuat: 13 Desember 2018. “Semua dipersiapkan dengan baik sama Bapak,” batin Wening dalam hatinya. Berbagai rasa muncul di hatinya: sedih, terharu, bangga, kehilangan sekaligus mendapatkan, kagum, dan akhirnya harus berbesar hati merelakan semua yang terjadi dalam dua setengah minggu ini.
Kehilangan adalah hal yang bisa dialami oleh siapapun, tetapi Wening tidak pernah menyangka bahwa kehilangan yang harus dialaminya justru double portion. Dalam jeda 16 hari setelah Ibu meninggal, Bapak pun menyusul Ibu pulang kerumah Bapa Surgawi, tanpa ada tanda-tanda sakit sebelumnya. Memang selama tiga tahun terakhir ini Bapak berulang kali jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit, bahkan beberapa kali harus dirawat khusus di ruang ICU. Rasanya, anak-anak sesaudara sudah terbiasa dengan kondisi Bapak yang jatuh sakit lalu dibawa ke rumah sakit untuk dirawat dan akhirnya sehat kembali. Namun, kali ini berakhir dengan berbeda. Ibu yang lebih dulu dipanggil Tuhan adalah kekuatan Bapak yang sesungguhnya, baik kekuatan batin maupun fisiknya. Di sisi lain, Bapak sendiri adalah ingatan yang menjadi pegangan Ibu, terutama mendekati akhir hidupnya.
Tepat pada hari ketujuh setelah Ibu dimakamkan, bapak jatuh sakit lagi dan kali ini langsung masuk ICU,termasuk langsung harus dibantu alat pernapasan. Sakit lama bapak di dalam raganya yang semakin sepuh adalah infeksi paru dan asma, tetapi kali ini bertambah dengan masalah prostat, yang selama dua tahun telah ditangani lewat prosedurcystostomic. Dalam pikiran bawah sadar, sepenuhnya Bapak tahu kali ini kekuatan raganya sudah menurun, apalagi Ibu sudah tidak ada lagi. Itulah yang membuat Bapak kali ini menyerah dan seperti memilih untuk segera menyusul Ibu. Perih dan sedih rasanya di hati Wening waktu pikirannya kembali ke setiap rasa yang muncul di hatinya saat itu. Bahkan, Wening masih bisa merasakan terakhir kalinya badan Bapak yang hangat disaat tarikan terakhir napas hidupnya berhenti. Itulah momen yang tidak akan pernah dilupakan wening. Hatinya berseru, “Bapak, aku sayang Bapak…!!”
Hari ini, 13 hari setelah Bapak dimakamkan, kesedihan itu masih terasa di hati Wening, tetapi kesadarannya juga mulai muncul bahwa bagaimanapun hidup harus terus berlanjut. Wening menggenggam erat lembaran-lembaran kertas yang dikeluarkannya dari amplop putih panjang bertuliskan nama suaminya: “Ytc. Putra”. Amplop putih berisi tiga lembar surat wasiat ini diberikan Bapak saat perayaan Natal keluarga awal tahun ini. Kelima anaknya semua menerima masing-masing satu amplop surat dalam bentuk yang sama. Jumlah materi secara nominal yang tertera di surat tidak sebanding dengan nilai dan warisan rohani yang ditinggalkan oleh Bapak, yang ternyata telah mempersiapkan kematiannya dengan begitu indah.
Masih segar dalam ingatan Wening, pagi itu di teras depan rumah sehari setelah Ibu dimakamkan, ia bersama Mbak Tami kakak sulungnya bercakap bertiga dengan Bapak. Entah keberanian dari mana yang mendorong Wening memulai bertanya, “Pak… Kalo nanti Bapak dipanggil Tuhan, Bapak maunya gimana…?” Bapak pun menjawab dengan serius walaupun sambil membaca koran paginya, “Bapakmu ini bisa dimakamkan di Taman Makam Bahagia, khusus prajurit, dengan tanda bintang yang bapak dapat, seperti juga pakdemu yang Angkatan Udara itu.” Wening lalu menjawab pelan, “Artinya, Bapak ndak bareng Ibu, ya…” dan Mbak Tami juga menimpali, “Iya lho,Pak… Artinya ndak bareng sama Ibu.” Bapak langsung menurunkan koran yang dibacanya, matanya sejurus menatap kedua putrinya. Wening melanjutkan dengan penjelasan yang baru ia dapat saat Budhe melayat di rumah duka, “Pak… Waktu layat Ibu kemarin di rumah duka, Budhe bilang nanti kalau Budhe dipanggil Tuhan, makam Pakde akan dipindah dari Taman Makam Bahagia untuk bareng dengan Budhe.” Penjelasan ini rupanya sangat dipahami oleh bapak yang biasa berpikir logis dan runtut. “Ooo… Jadi begitu, ya? Kalau begitu Bapak nanti bareng ibumu saja, tapi Bapak minta ada upacara militer. Semua surat sudah Bapak siapkan.”
Percakapan pagi itu sangat membekas di ingatan Wening, dan percakapan itu pulalah yang memberikannya kekuatan untuk mewujudkan semuanya selama delapan hari bapak dirawat di akhir hidupnya. Entah mengapa, ada firasat di hatinya bahwa semua harus disiapkan yang terbaik seperti yang Bapak minta….
Benarlah, Bapak sudah mempersiapkan semuanya. Semua surat sudah siap dengan rapi. Bapak memang lama berdinas di kesatuan TNI AD di bidang administrasi. Tidak ada surat maupun berkas yang tercecer, semua rapi tersimpan di dalam map clear hoder masing-masing. Itulah yang membuat hati Wening bungah saat pemakaman Bapak. Upacara militer yang Bapak rindukan menghantar Bapak dengan semua penghormatan yang diberikan oleh negara atas jasa dan perjuangan Bapak selama mengabdi sebagai prajurit Sapta Marga. Bapak seolah memberikan anak, menantu, dan cucu-cucunya waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya: Pakaian Dinas Upacara lengkap dengan lencana wing, tanda pangkat, dan semua tanda jasa yang pernah Bapak terima, bahkan berikut pedangnya. Semua mengilap lagi setelah tiga hari dipoles dengan brasso. Bapak “pulang” dengan gagah setelah mempersiapkan segala sesuatunya.
Nanar mata Wening waktu membaca sekali lagi pengantar surat wasiat itu: “Anak-anakku yang terkasih, bukan berarti Bapak akan mendahului kehendak Tuhan, tapi justru Bapak mempersiapkan segala sesuatunya, sebelum Bapak dipanggil Tuhan. Agar segala sesuatunya berjalan dengan lancar dan baik dalam pelaksanaannya. Rundingkan semuanya dengan baik dan tetap berdasarkan kasih”. Bagi Wening, surat wasiat itu bukan sekadar berisi amanat Bapak untuk semua yang ditinggalkannya, tetapi yang utama justru surat itu berbicara tentang hidup Bapak yang siap sedia memberikan akuntabilitas di akhir hidupnya, Bapak sebagai bapak yang tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Bapak “pulang” dengan terhormat.
Kematian Bapak adalah sebuah “diam” setelah suara kehidupannya selama puluhan tahun. “Diam” itu berbicara menembus rasa dan asa di hati dan pikiran Wening; memberikan arti kepada kehidupannya, menceritakan kehidupan itu sendiri. Kematian secara kasat mata ialah “diam” yang mestinya adalah sebuah kesunyian, tetapi betapa indahnya ketika “diam” itu ternyata justru berbicara lebih keras dan gamblang dari semua perkataan suara kehidupan. “Diam”-nya kematian Bapak berbicara jauh melampaui suara kehidupan yang fana, tetapi sesungghnya itu adalah bagian dari kehidupan abadi Bapak dalam kekekalan.
Bagi kita sendiri, seberapakah kita memaknai kehidupan ini, bahwa kehidupan ini hanyalah sementara dan sebaliknya kekekalan itu nyata dan sangat berharga? Kehidupan yang fana sejatinya adalah untuk mempersiapkan kita masuk ke dalam kekekalan. Hidup di zaman ini, ada begitu banyak hal yang mudah mengalihkan fokus kita, seiring dengan hitungan hari yang makin cepat berlalu. Degradasi akhlak, kekacauan moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat yang makin merosot ditambah dengan kecepatan perkembangan teknologi membuat semua informasi tidak lagi terbendung; kita terombang-ambil di antara begitu banyak distraksi… Mari kembali ke kesadaran bahwa akhir dari semua adalah sesuatu yang tidak ada akhirnya, dan mulai memaknai hidup yang fana ini dengan bijaksana. Pastikan “diam” kita nanti berbicara kuat tentang hal-hal yang indah dan bernilai kekal untuk mereka yang kita tinggalkan.
“Dan aku mendengar suara dari surga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.’‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.’” – Wahyu 14:13
Refleksi:
- Berapa sering engkau mudah tergoda untuk berfokus pada hal-hal yang membuatmu khawatir tentang kehidupanmu saat ini?
- Berapa sering engkau merenung tentang kekekalan?
- Bagaimana engkau memaknai kehidupanmu?
- Berapa sering engkau menyadari dan melibatkan Tuhan dalam kehidupanmu?
- Persiapkan “diam”-mu lewat kehidupan yang bermakna; bukan hanya untuk dirimu tetapi juga orang-orang di sekitarmu.