Pagi itu Yanti bangun dengan suatu rasa yang berbeda. Di antara kesadaran sepenuhnya setelah terjaga dan kenikmatan tidurnya sejak semalam serasa ada yang hilang. “Ah… bunyi itu tak ada lagi…” batin Yanti sedetik kemudian. Ternyata, bunyi yang sudah hampir setahun kemarin ada bersama-sama di tempat tidurnya kini tak ada lagi. Ada rasa kehilangan yang janggal di hati Yanti, tetapi kemudian kehilangan itu berubah menjadi senyum penuh syukur. Ya… bunyi itu, kreyot kreyot, memang sekarang tidak terdengar lagi.
Bunyi kreyot kreyot itu ialah cerita tentang tempat tidurnya bersama Hendra, suaminya, sejak pertama kali mereka menikah. Ingatan Yanti mundur ke 18 tahun yang lalu, saat mereka berdua mengunjungi sebuah pameran perabotan di daerah Senayan di Jakarta. Saat itu bulan Februari. Mereka memang sedang dalam proses mempersiapkan pernikahan dan segala pernak-perniknya, termasuk mencari segala perabot untuk mengisi rumah kontrakan mereka, rumah pertama yang mereka sewa untuk jangka waktu dua tahun. Tiba-tiba Yanti tersenyum sendiri mengingat peristiwa itu. Hari mereka mengunjungi pameran itu ternyata adalah hari terakhir. Pameran itu tidak akan ada lagi keesokan harinya. Yanti waktu itu sempat ngambek ketika tahu hal itu, karena khawatir tidak sempat mendapatkan pilihan perabot yang terbaik. Hendra pun bingung dan serba salah karena dia juga tidak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir pameran perabotan berskala nasional yang hanya setahun sekali diadakan.
Hari itu, walaupun ngambek, Yanti tetap memutuskan untuk tidak pulang. Dia tetap mau berkeliling berdua bersama Hendra, dan target mereka adalah membeli tempat tidur ukuran untuk berdua. Hmm…. ternyata terbiasa tidur di ranjang ukuran single membuat mereka gelagapan menjawap pertanyaan petugas di stan penjualan, “Cari ranjang ukuran queen atau king, Mbak? Saat itu bahkan mereka pun tidak tahu perbedaan kedua ukuran itu! Akhirnya dengan mantap Hendra menjawab, “King, Mas… Ranjang untuk berdua dan jangan yang terlalu sempit, ya…” Mereka memang bukan mencari tempat tidur dengan model yang waktu itu sedang menjadi tren, tetapi justru lebih berharap menemukan tempat tidur jenis “dipan” dengan kasur biasa. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh keinginan Yanti yang terinspirasi melihat ranjang yang dipakai kedua orang tuanya selama ini, yang memang terlihat lebih kuat dan tidak merepotkan saat dipindah-pindahkan posisinya. Mereka juga sedikit berharap-harap supaya tempat tidur model dipan itu nantinya jenis knock-down, alias mudah dibongkar-pasang sendiri dengan proses yang relatif cepat dan sederhana.
Hampir separuh dari seluruh stan di pameran itu sudah mereka sambangi, tetapi sepertinya belum ada satu pun tempat tidur yang pas di hati. Hampir putus asa rasanya mereka berdua, sampai akhirnya Yanti berkata, “Gimana, nih? Kayaknya kita pulang aja, ya?” Seketika itu pula, Hendra memberi semangat, “Ayo… masih ada beberapa stan di ujung dekat pintu keluar sana. Kita lihat dulu ke sana… Jangan lupa berdoa supaya Tuhan berikan pilihan yang terbaik untuk kita. Lagipula kita sudah jauh-jauh ke sini menembus macet…” Ucapan bersemangat yang singkat itu rupanya juga menularkan semangat kepada Yanti. Mereka akhirnya bersepakat menuntaskan “misi” hari itu. Apalagi, masih banyak urusan lain yang menunggu untuk mereka persiapkan dalam daftar…
Hampir di ujung area pameran, dekat pintu keluar, ada sebuah stan dengan petugas yang sedang berbenah membereskan barang-barang dagangannya. Tiba-tiba mata Yanti berhenti pada sebuah tempat tidur yang dipajang di stan itu. Sebuah ranjang dipan dari kayu berkasur biasa dengan motif kepala ranjang yang sederhana tetapi terlihat kokoh. Yanti langsung jatuh hati kepada tempat tidur ini. Hendra yang langsung paham dengan gesture calon istrinya ini pun bertindak cepat dengan bertanya kepada penjaga stan, “Mas… Ranjang ini masih ada stoknya? Ini ukurannya berapa, ya?” Penjaga stan itu menjawab, “Ini ukuran 180×200 cm, Mas… Tinggal satu ini saja barangnya, nggak ada lagi di gudang. Model knock-down, jadi ringkas kalau mau dibongkar-pasang…” Wah, ini pilihan yang pas seperti yang mereka inginkan! “Berapa harganya, Mas?” balas Hendra dengan semangat menuntaskan pencarian mereka sore itu. Penjaga stan itu langsung permisi untuk berdiskusi dengan atasannya dan segera kembali menemui Yanti dan Hendra, yang sedang menunggu sambil berharap-harap cemas apakah harga tempat tidur itu sesuai dengan anggaran mereka. Sambil tersenyum, si penjaga stan berkata tegas, “Mas dan Mbak beruntung sekali datang hari ini! Ini adalah hari terakhir pameran dan ranjang ini memang tersisa yang satu di pajangan ini saja. Kalau langsung dibayar, barang bisa langsung kami siapkan untuk dibawa pulang. Nah, kami berikan harga khusus, diskon 50%. Harganya jadi…” Hendra dan Yanti melongo mendengar ucapan penjaga stan itu; mereka tidak menyangka bahwa kedatangan mereka sore menjelang malam di hari terakhir pameran itu, bahkan ke stan di ujung area itu, tidak sia-sia. Selain segala detailnya pas dengan keinginan, harga tempat tidur itu setelah diskon adalah persis dengan anggaran yang telah mereka siapkan. Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan tepat dan sempurna! “Iya Mas, kami ambil dan langsung bayar sekarang.” Dan… demikianlah kisah si tempat tidur yang telah menemani kehidupan pernikahan mereka selama 18 tahun ini.
Senyum Yanti masih menggantung di bibirnya pagi itu mengingat semua kejadian yang pernah mereka alami bersama si tempat tidur ini. Benaknya terbayang, dari tujuh kali mereka pernah mengalami banjir, rasanya sudah lima kali tempat tidur ini terendam banjir. Dari mudah dibongkar-pasang sampai semua baut-baut penyambungnya mulai berkara dan setahun terakhir ini mulai “bernyanyi” kreyot kreyot, tempat tidur ini selalu setia menemani tidur mereka setiap malam hingga pagi hari. Beberapa kali Yanti berdiskusi dengan Hendra setahun belakangan ini, bahwa sudah waktunya mereka mengganti tempat tidur, tetapi memang kebutuhan keluarga saat itu masih banyak selain ada biaya renovasi rumah yang dilanjutkan dengan cicilan KPR setiap bulannya. Di atas kertas, mereka perlu menunda pembelian tempat tidur baru, dan itulah yang mereka sepakati. Belajar menikmati setiap harinya dengan tempat tidur yang ada saat ini dulu. Seperti biasa, jika ada kebutuhan yang belum bisa dipenuhi, mereka menuliskan kebutuhan itu di daftar doa. Kali ini, kebutuhan tempat tidur yang baru pun masuk di daftar doa mereka. Apalagi, “nyanyian” si tempat tidur ini makin sering terdengar menemani tidur mereka sepanjang malam, seolah mengingatkan tentang usianya yang sudah menua.
Pagi ini, “nyanyian” itu sudah tidak terdengar lagi. Si tempat tidur kayu yang usianya seumur pernikahan Yanti dan Hendra itu akhirnya berganti dengan tempat tidur baru dari bahan rangka besi yang kokoh. Tempat tidur pertama mereka bahannya dari kayu berwarna cokelat muda, yang sekarang dari bahan besi berwarna putih. Bagian kepala tempat tidurnya masih bermotif sederhana, sesuai dengan selera mereka berdua. Urusan tempat tidur ini menjadi pembelajaran berharga bagi Yanti dan Hendra; lewat hal itulah mereka belajar mempercayakan rasa cukup dan setiap kebutuhan mereka kepada Tuhan, serta lewat hal itu pulalah mereka bersepakat menjalani proses dan melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam kesehatian mereka.
Aaah… betapa indahnya hidup dalam anugerah rasa cukup dari Tuhan! Itulah harta yang tidak ternilai karena menimbulkan kesadaran akan Allah yang lebih besar dan mengasihi kita; Dia jauh lebih mengerti segala yang kita perlukan dan kebaikan-Nya jauh melebihi pemikiran kita. Bahkan kebutuhan yang belum terpenuhi pun ternyata bisa dinikmati dan dijalani dengan sukacita sebagai sebuah kekayaan hidup!
Yanti menghela nafas lalu melantunkan syukur dari dalam hatinya, “Bapa di surga, terima kasih untuk anugerah-Mu yang tidak terbatas. Terima kasih untuk tempat tidur kayu yang Tuhan berikan untuk kami selama 18 tahun kemarin, terima kasih juga untuk bunyi kreyot kreyot yang kami dengar selama setahun terakhir. Terima kasih untuk rasa cukup yang Engkau berikan dalam proses penantian kami. Dan… terima kasih untuk tempat tidur yang baru ini. Terima kasih, Bapa… Engkau baik! Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, aku mengucap syukur. Amin.”
Matius 6:33-34
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.“
(sebuah kisah nyata yang diceritakan kembali dengan penyesuaian seperlunya)
Refleksi pribadi:
- Berapa sering Anda bersyukur untuk setiap kecukupan yang Tuhan berikan?
- Berapa sering Anda “terganggu” karena berbagai kebutuhan yang belum terpenuhi?
- Berapa sering Anda sadar untuk mempercayakan hidup Anda kepada Tuhan?
- Bersyukurlah untuk apa yang Tuhan telah berikan kepada Anda dan percayakan kepada Tuhan apa yang masih menjadi kebutuhan Anda saat ini.