///Tuhan atas SEGALA SESUATU

Tuhan atas SEGALA SESUATU

Waktu tepat pukul 11:00 siang saat Mirna melihat ke arah jam tangannya. “Ah…. Aku datang tepat waktunya,” batin Mira di tengah hatinya yang bungah dan ceria karena akan bertemu dengan dua sahabat karib lawasnya:  Bunga dan Isyana. Mereka bertiga memang bersahabat sejak di bangku kuliah. Selepas menamatkan studi S-1, mereka masing-masing mengambil jalan hidup yang berbeda-beda. Hari ini adalah pertemuan pertama mereka setelah hampir 20 tahun tidak pernah berjumpa karena ketiganya tinggal di kota yang berbeda.  Mirna sendiri akhirnya menikah langsung setelah wisuda sarjana-nya; Bunga meniti karier sebagai bankir di sebuah bank swasta terkemuka; sedangkan Isyana menjadi seorang pengusaha garmen. Hmm… Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu…

Sejak perpisahan mereka, sepuluh tahun lalu media sosial menolong mereka untuk tetap keep in touch sekalipun tanpa bertemu muka. Mirna membayangkan seperti apa kedua sahabatnya kini? Apakah Bunga masih sepolos dulu waktu kuliah? Apakah Isyana makin terasa aura kepemimpinannya? Dan… bagaimana dengan dirinya sendiri? Senyum tipis di wajahnya menyadarkan bahwa dirinya juga berubah, dan perubahan itu rupanya terlihat di cermin kecil yang dia keluarkan sembari menambah polesan lipstik di bibir. “Aku sudah tidak muda lagi,” bisiknya di dalam hati sambil menatap cermin melihat guratan-guratan tipis di ujung matanya. “Biarlah… Memang usia tidak bisa dihindari, apalagi keriput!” hatinya tersenyum sambil membayangkan perubahan apa kira-kira yang bakal dilihatnya pada diri kedua sahabatnya nanti.

“Haiii…!!” tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dan dia kenal betul nada suara itu. Bunga! Seribu satu rasa merekah di dada Mirna saat membalikkan badan dan melihat berdiri seorang wanita sebaya dirinya di sana… Ini masih Bunga yang dulu dia kenal… Masih polos tetapi terlihat lebih “berisi”… Sedetik kemudian, keduanya sudah saling berpelukan melepas rindu sambil tak henti saling berkomentar tentang satu sama lain. “Aduh, kamu yaaa… masih aja  berasa polosnya!” seru Mirna, sementara Bunga sambil tertawa ngakak dan hampir lupa diri bahwa mereka ada di tempat umum menimpali, “Lha iya, lah…. Itu ‘kan trade mark aku!”

Segera saja keduanya sudah mengambil posisi duduk di tempat yang memang telah disiapkan Mirna untuk kesempatan reuni kecil mereka bertiga. Tiba-tiba, suara Bunga memecahkan keheningan dalam sepersekian detik, “Nah… Seperti biasa nih, bos Isyana selalu datang terakhir…” serunya sambil tertawa hampir ngakak (lagi). Mirna menyambut seruan Bunga dengan tawa yang tak kalah serunya. Memang benar, Isyana biasa muncul terakhir dalam berbagai kesempatan kumpul mereka sejak masa kuliah dulu.

Warung Nasi Bu Sri. Sambil menunggu Isyana datang, baik Mirna maupun Bunga mengamati warung nasi yang masih menyisakan sebagian kenangan dari masa kuliah ini… Mereka memang sengaja memilih kedai langganan mereka bertiga dulu waktu kuliah, bukan kafe-kafe modern yang sedang menjamur di seantero kota seperti acara-acara reuni lainnya, karena mereka bukan hanya ingin bereuni, tetapi juga napak tilas setiap rasa saat mereka bersama-sama sebagai tiga sahabat mahasiswi dulu. Yang berbeda pada warung nasi ini hanya satu: sekarang ruangannya dilengkapi dengan AC, sehingga ada pintu kaca yang memisahkan antara tempat makan dan etalase tempat Bu Sri menyajikan menu-menu masakannya, yang selalu bikin lidah dan hati tergiur untuk menambah porsi makan…

Tak lama terlarut dalam nostalgia suasana warung, Mirna dan Bunga menyaksikan Isyana muncul dengan penampilan yang elegan. Keduanya pun makin yakin bahwa teman mereka yang satu ini memang “tampilan bos”. Isyana tidak bersikap seheboh Mirna maupun Bunga, tetapi waktu akhirnya mereka bertiga duduk bersama mengelilingi meja makan, ketiganya pecah dalam tawa yang sama.

Siang itu, mereka memulai napak tilas dengan memesan menu kesukaan masing-masing. Mirna memilih sayur tumis pare ikan teri, balado terong, dan tempe mendoan; Bunga memilih sayur asem, orek tempe, dan ikan asin jambal roti; sedangkan Isyana memilih sambal goreng pete udang, gulai daun singkong, dan tahu bacem. Sama persis dengan pesanan mereka sehari-hari saat berkuliah dulu. Seperti dulu, kini mereka juga menikmati sensasi rasa masakan Bu Sri, yang sudah semakin sepuh tetapi masih juga memasak sendiri dengan dibantu anak perempuannya. Ketiganya menikmati kombinasi lauk pauk serba lezat itu dengan setengah porsi nasi putih dan minuman favorit, es teh manis. Sayangnya, hari itu Bu Sri sedang tidak sehat, sehingga mereka bertiga tidak bisa bertemu dengannya langsung. Hanya terlihat anak perempuannya yang mengurus warung nasi ini, dan demikianlah yang sering terjadi sekarang ini menurut si anak perempuan. Dalam diam yang meresapi nikmatnya masakan Bu Sri, ketiga sahabat itu menghabiskan menu pilihan masing-masing.

Setelah perut terisi dan hati puas melepas kangen dengan masakan Bu Sri, mulailah mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing setelah lulus kuliah. Mirna memulai ceritanya. “Aku ‘tuh langsung kerja setelah lulus kuliah. Lumayan juga sih, hampir sepuluh tahun kerja… Lalu setelah itu aku menikah. Anakku satu, perempuan, sekarang usianya hampir sepuluh tahun. Sekarang aku lebih banyak di rumah dan aktif pelayanan di gereja bareng suamiku…” Bunga segera menyambung dengan cerita hidupnya. “Kalau aku…. Langsung menikah begitu lulus kuliah. Sori ya, aku nggak ngundang kalian waktu itu, karena aku menikah di luar kota… Anakku dua orang. Yang sulung cowok, sekarang usianya hampir 19 tahun, lalu yang bungsu cewek, usianya 15 tahun. Aku sih di rumah aja selama ini. Ibu Rumah Tangga, itulah profesiku!” Kalimat terakhir itu diikuti dengan tawa lepas ketiganya, karena itulah memang ciri khas Bunga sejak dulu: polos.

Tibalah kini “giliran” Isyana untuk bercerita, tetapi setelah lewat hampir dua menit tetap saja tak kunjung terdengar suaranya. Tanpa sadar, mereka bertiga saling menatap sambil masing-masing mengaduk isi gelas es teh manis yang hanya tersisa paling-paling separuhnya. Isyana menarik napas panjang dan menghelanya juga dengan panjang… “Apa yang terjadi?” batin Mirna dan Bunga dalam keheningan setelah akhirnya suara Isyana pelan terdengar, “Rasanya hidupku yang paling kacau ya, di antara kita bertiga. Aku langsung mulai bekerja setelah lulus kuliah, dan aku bekerja terus sampai hari ini. Lima tahun setelah lulus kuliah aku menikah, tapi kami nggak dikaruniai anak. Pernikahanku bahkan kandas waktu masuk tahun kesepuluh. Sekarang… aku ya seperti yang kalian lihat ini. Berusaha bahagia dengan caraku, tapi sejujurnya aku nggak bahagia. Apa sih bahagia itu sebenarnya?”

Hening melanjutkan aksinya di antara mereka bertiga, padahal warung saat itu sedang ramai karena bertepatan dengan waktu makan siang. Syukurlah, Mirna sudah mengambil posisi terbaik, meja yang agak memojok, sehingga mereka bertiga tidak terganggu dengan keramaian di sekitarnya. Mirna dan Bunga saling berpandangan seolah déja vu masa kuliah dulu. Isyana yang tampak paling tegar di antara mereka sebenarnya justru adalah pribadi yang paling rapuh di antara mereka. Anggukan pelan Bunga memberi isyarat untuk Mirna menanggapi apa yang barusan diucapkan oleh Isyana. Sesungguhnya Mirna memang telah mendengarkan kisah Isyana tadi sambil berdoa di dalam hatinya, “Tuhan… tolong aku untuk hanya berbicara apa yang Engkau mau katakan buat sahabatku ini.” Setelah menarik napas perlahan, Mirna menanggapi dengan pertanyaan singkat, “Apakah bahagia itu menurut kamu sendiri, Is…?

Berpindahlah tatapan mata Isyana dari gelas minumannya ke mata Mirna, “Ah, kamu ‘tuh, ya… Kalau ditanya selalu malah bertanya balik.” Namun, sejurus kemudian Isyana pun langsung melanjutkan ucapannya, “Menurutku, bahagia itu ya seperti kalian ini… Hidup seperti tanpa beban, lepas dan merdeka.” Bunga langsung menimpali, “Oooh… kami ini terlihat tanpa beban, ya…? Sebenarnya beban itu ada aja sih Is, tapi kami mungkin beda melihatnya. Buatku beban dan masalah hidup itu bagian dari cara Tuhan mendewasakan aku.” Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Bunga, hampir saja es teh manis yang diteguk Mirna masuk ke jalan napas, alias keselek. “Wah, bijaksana banget sahabatku yang satu ini… Kok, tumben?” Serta-merta, Mirna menyambut kata-kata Bunga itu, “Nah… itu ‘kan jarang banget kedengeran sama kamu tuh, Is… Langka banget Bunga bisa ngomong kayak gitu. Ada benernya juga sih kata Bunga itu…” Isyana jadi geli melihat kedua temannya, lalu bertanya kepada Mirna, “Nah, kalau kamu sendiri, gimana? Benar, hidupmu tanpa beban dan masalah?”

Mirna berpikir sebentar, lalu menjawab, “Memang yang dibilang Bunga tadi benar, Is. Kami melihatnya dari kaca mata yang beda. Kalau yang aku lihat, masalah itu justru tandanya Tuhan sayang sama aku. Lewat masalah itu Tuhan mau mendidik aku untuk makin kenal Dia dan makin bergantung sama Dia. Hidup itu ‘kan sementara ya, Is… Ujungnya juga kita semua pasti “pulang”, jadi ya kita fokus aja sama yang di ujung itu nanti. Kalau kita nggak fokus sama masalah kita, pasti deh justru itu yang bikin kita bisa hidup bahagia, seolah tanpa beban. Tapi ya itu tadi kuncinya, kita kudu percaya total 100% sama kedaulatan Tuhan. Nggak bisa nggak, Is… Kudu itu, supaya kita bisa menjalani hidup ini seperti tanpa beban. Beban atau masalahnya sih nggak hilang, tetap ada, tapi kita jadi melihat dan menghadapi masalah itu dengan cara pikir yang beda. Itu menurutku yang namanya iman. Bukan nggak ada masalah, tapi ada kebahagiaan melewatinya karena tahu Tuhan yang atur semuanya.”

Mirna tidak sadar bahwa apa yang disampaikannya ialah kebenaran yang cukup dalam. Dia baru sadar hal ini saat melihat ekspresi wajah kedua sahabatnya. Tampak jelas, wajah Bunga dan Isyana antara melongo dan diwarnai sedikit rasa kagum… Terdorong oleh sesuatu di dalam hatinya, Mirna melanjutkan kata-katanya, “Beneran, ini aku alami sendiri, lho… Kita tuh kudu nyadar bahwa umur kita nggak muda lagi. Coba deh perhatikan, hari-hari ini berjalannya cepet banget, kita aja serasa baru selesai kuliah dan baru menikah, eh tahu-tahu udah 20 tahun aja nggak ketemu… Itu artinya kita pasti makin tua sekarang… Kita sudah makin dekat sama yang namanya kematian. Lha kalo hidup kita nggak bahagia sekarang, lalu tiba-tiba kematian itu sudah di depan mata, apa artinya hidup ini? Bukankah lebih baik kita belajar bahagia sekarang?”

Kalimat terakhir Mirna itu seperti langsung masuk ke dalam hati dan pikiran Isyana. “Bener banget ya Mir, buat apa hidup kalo nggak bahagia… dan bahagia itu harus datang dari dalam hati kita. Bukan faktor luar yang menentukan kita bahagia atau nggak, tapi faktor yang di dalam: hati dan pikiran kita sendiri. Terus, apa yang harus aku lakukan ya sekarang, supaya bahagia?” Tanpa aba-aba, Bunga langsung menjawab, “Bertobat, Is… Kamu berhenti lah pakai kekuatanmu sendiri. Coba mulai melibatkan Tuhan, mengandalkan Dia, dan mempercayai Dia sepenuh hatimu. Kamu itu paling pinter sebenarnya di antara kita, tapi tanpa kamu sadari kamu kadang banyak mengandalkan kekuatanmu dan kepintaranmu itu sampai nggak sadar jadi melupakan Tuhan. Ayo Is, belum terlambat, minta ampun lah dan kembali sama Tuhan. Dia adalah Tuhan atas SEGALA SESUATU.”

———————————————————-

Siang menjelang sore itu, di pojok ruang Warung Nasi Bu Sri, ketiga sahabat itu saling menggenggam tangan, saling menatap dengan kasih dan keharuan yang dalam. Hati mereka berbicara satu sama lain dan menyatu dalam pengertian yang manis. Isyana nggak tahan, matanya basah dengan air mata. Haru dan bahagia rasanya dia punya dua orang sahabat yang selalu jadi tempat dia bisa membuka diri apa adanya. Ini bukan hanya pertemuan biasa, bukan pula sekadar reuni sahabat lama; ini adalah titik balik hidupnya. Pulang dari kumpul sore itu, semuanya berbeda. Isyana pulang sambil bertekad dan berketetapan hati untuk kembali kepada Tuhan, Mirna pulang dengan rasa syukur yang tak habis-habisnya dan doa tulus untuk sahabatnya Isyana, sedangkan Bunga pulang dengan kekaguman yang makin bertambah terhadap pribadi Tuhan yang bisa memakai orang polos dirinya menjadi alat-Nya untuk membawa sahabatnya kembali mencari Tuhan.

 (sebuah cerita fiksi pendek – kemiripan nama maupun tempat apa pun bukanlah suatu kesengajaan)

“Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari.” Amsal 4:18

Pertanyaan refleksi:

  1. Di penghujung tahun ini, adakah kelelahan dalam engkau menjalani kehidupan sepanjang tahun ini?
  2. Temukan dan catat hal-hal apa saja yang Tuhan kerjakan dalam hidupmu dan engkau patut syukuri.
  3. Temukan dan catat siapa saja pribadi-pribadi yang selama ini menginvestasikan hidupnya untuk menolong memuridkan dirimu. Berdoalah untuk mereka dan syukuri keberadaan mereka di dalam hidupmu.
  4. Buatlah komitmen pribadi dalam hal tujuan tertentu yang akan engkau kejar dalam hal pertumbuhan rohani dan pengenalanmu akan Tuhan di tahun depan.
2019-11-23T13:57:12+07:00